Jumat, 27 Maret 2009

Raktualisasi Amar Ma'ruf Nahi Munkar

By Agus Wahyudi

Pandangan orang tentang arti hidup selalu berbeda. Pertanyaan seperti; untuk apa hidup
bagi manusia, selalu berbeda jawabannya. Bagi umat Islam, hidup bukanlah sekedar untuk
hidup. Hidup (di dunia) bukanlah tujuan. Kehidupan manusia merupakan proses dan tahapan
yang akan berakhir di dunia dengan datangnya kematian. Sebagai proses, kita menyadari
bahwa; hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik
adalah aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Perbedaan hidup manusia dengan hidup yang
dialami oleh makhluk lain, hanyalah terletak pada nilai dan makna. Sedangkan nilai dan
makna hidup manusia ditentukan oleh aspek spiritual yang dibarengi sikap taawaun ala
birri wannhayu anil mungkar. Hal ini tersirat dalam firman Allah Ta’alaa yang berbicara
tentang “etos kerja” Qur’an Surat; Al Jumu’ah ayat 9 :

فإذاقضيت الصلاة فانتشروا فىالارض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلّكم تفلحون .
(الجمعة : 9)

Artinya : “Maka, apabila telah ditunaikan sembahyang, bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak, supaya kamu beruntung.”

Esensi makna yang terkandung di dalam ayat di atas, tersirat adanya kecenderungan pada
titik tekan ikhtiyar, usaha dan bekerja yang sama sekali tidak mengesampingkan
aspek-aspek spiritual sebagai pengendalian “nilai dan makna hidup”, bagi manusia.

Model pembangunan yang hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi hanya akan memisahkan
atau mengasingkan aspek spiritual tadi. Alienasi antara keduanya akan tercermin pada
pemisahan agama yang tidak menyatu dengan aktifitas pelembagaan ekonomi. Keadaan seperti
ini akan mendorong pada disintegrasi tata nilai dan norma antara aspek spritual dan
ekonomi. Ini berarti bahwa; ekonomi merupakan sistem nilai tersendiri dan aspek
spiritual juga punya tata nilai sendiri. Akibatnya, gerakan ekonomi berjalan secara
diametral/terpisah dengan sistem nilai spiritual. Pada gilirannnya gerakan ekonomi
berjalan bebas tanpa spiritualitas dan meluncurkan sikap kompetitif yang bila tidak
dikontrol oleh apek spiritual (nilai-nilai rohania, moralitas dan kejiwaan) akan
cenderung ke arah pembentukan faham individualisme, materialisme dan konsumerismenya
yang pada akhirnya tercipta budaya “Hedonisme” yaitu ‘pandangan hidup yang menganggap
bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup.’ Dan yang jelas
faham dan budaya semacam ini bertentangan keras dengan “Etika berekonomi” dan moralitas
dalam Islam.

Disinilah pentingnya media dakwah yang partisipatif yang secara interaktif dapat
mengintegrasikan kembali nilai spiritual dan aspek ekonomi sebagai tumpuan hidup. Dalam
kaitan ini, Allah SWT mendorong adanya interaksi dari sekelompok umat Islam untuk
memasarkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar: mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104 :

ولتكــم منكــم امّة يدعــون الى الخير ويأمرون بالمعـروف وينهون عن المنكر. وأولئك هم
المفلحون . (ال عمران : 104)


Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”

Dan dalam kerangka operasional pelaksanaannya, harus menggunakan media dakwah yang
ideal, konseptual dan partisipatif, Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an :

اذع الى سبــيل ربّك بالحكــمة والموعــظة الحســـنة وجـــادلهــــم بالتى هي احسن . إنّ ربّك
هو اعلم بمن ضل عن سبيله. وهو اعلم بالمهتدين (النحل : 125)

Artinya : “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas
dan benar) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang Maha Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan
– Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menadapat petunjuk.” (Qs. An
Nahl : 125)


Ketika dinamika kemasyarakatan mengalami perubahan yang sedemikian dahsyat, sebagai
akibat proses modernisasi yang sarat dengan dominasi ekonomi, kemajuan tekhnologi,
melubernya informasi dan tingginya tingkat mobilitas/perpindahan manusia dalam bentuk
urbanisasi misalnya, jelas akan mengubah pola dan wajah perilaku masyarakat menjadi
individualistik, materialistik dan tumbuh dan berkembangnya budaya “Hedonisme” yang
tentunya akan meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan.

“Kegelisahan sosial” yang diakibatkan oleh alih tehnologi material yang tidak terkontrol
menuntut adanya strategi baru dalam dakwah mengajak kepada kebaikan. Dakwah di era
tekhnologi canggih seperti ini tidak cukup hanya dengan dakwah secara verbal: dari
mimbar ke mimbar, tapi segala cara harus ditempuh agar bagaiamana pesan amar makruf nahi
mungkar ini bisa sampai ke telinga umat Islam pada khususnya. Untuk itu kecanggihan
tekhnologi ini harus dimanfaatkan secara posistif dan maksimal untuk mengontrol perilaku
umat agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama.


Konsep yang paling mendasar dalam dakwah adalah menyadarkan mansia dari;

Pertama : mamahami kembali makna dan tujuan hidup yang sebenarnya, dan yang Kedua :
menanamkan pandangan menganggap bahwa “dunia” adalah kebendaan dan kekayaan materi
“merupakan realitas yang terendah.” Namun demikian Islam tidak mengajak manusia kepada
faham fatalistik, memusuhi dunia secara total tapi menjadikan dunia bukan sebagai tujuan
hidup tapi hanya sebagai jalan untuk menggapai kehidupan abadi setelah mati. Oleh
karenanya agama Islam tidak membelah dua wilayah spiritual dan realitas sosial menjadi
dua wilayah yang berjalan sendiri-sendiri tapi saling sinergis dan melengkapi.

Allah mengingatkan kita agar tidak tertipu oleh silau dunia. Karena ini tidak akan
menghasilkan apa-apa kecuali penyesalan yang tiada guna. Al Qur’an Allah berfirman :
وماالحيوة الدّنيا إلا متع الغرور (العمران : 185)

Artinya : “Bukanlah kehidupan duniawi itu, kecuali kesenangan yang menipu

Dalam surat yang lain Allah juga memperingatkan agar tidak mempertuhankan benda sehingga
lupa bahwa dalam benda kekayaan itu ada hak bagi orang miskin.

ألهكم التكثر. حتّى زر تم المقابر


Artinya : “Berlomba untuk menumpuk kekayaan telah membuat kalian-kalian lupa (akan
hakikat hidup), sampai kalian masuk keliang kubur.” (Qs. At Takatsur : 1 dan 2(

Kata-kata “DUNYA” disebut lebih dari seratus kali dalam Al Qur’an, hampir kesemuanya
dalam konteks dikecam, minimal melecehkan orang-orang yang menganggap kenikmatan dan
prestasi duniawi sebagai kenikmatan dan prestasi yang sejati. Demikian juga kata-kata
“MAL atau AMWAL” disebutkan sekitar 78 kali dalam Al Qur’an lebih banyak memberikan
“peringatan” agar manusia tidak sampai tertipu dengan memandang kekayaan materi sebagai
tujuan, disatu sisi dan pada pihak yang lain Al-Qur’an memberikan “dorongan” agar
manusia bergegas menggunakan kekayaannya sebagai alat untuk mencari kebahagiaan sejati
di akhirat. Lalu caranya bagaimana ? Allah Azza Wa Jalla memberikan petunjuknya melalui
firmannya dalam Al Qur’an Surat As Shaff ayat 10 dan 11 :

يآايها الذّين آمنو هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب أليم. تؤمنون با لله ورسوله وتجاهدون
فى سبيل الله بأموالكم وانفســكـــم. ذلكـــم خير لكــم إن كنتــم تعلـــــــــمون.


Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih ? (yaitu) kamu beriman kepada Allah,
Utusannya dan berjuanglah di jalan kebaikan dengan harta dan potensi pribadimu. Itulah
yang lebih baik bagimu, sekiranya engkau tahu.”

Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan bimbingan, Taufiq serta hidayah dari Allah
SWT. Amin 3x Yaa ...... Robbal ‘Alamin !


Sumber : Ustadz Muhammad Afifuddin, Lc

Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar