Minggu, 21 Juni 2009

Tanda Beriman

“ Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayinah : 8)

Ibnu Abas menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat dari kaum Anshar :

”Siapakah kamu ini ?

Mereka menjawab :”kami ini semua adalah orang yang beriman”.

Kemudian nabi bertanya lagi : “Apakah tandanya jika kalian ini semua orang yang beriman?”

Semua sahabat Anshar tadi menjawab : “kami ini semua selalu bersyukur dengan nikmat yang didapat, juga selalu bersabar dengan segala musibah yang diterima, dan hati kami ridha menerima segala takdir dan ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan atas keadaan diri kami”.

Rasulullah SAW menjawab : “Demi Tuhan yang memiliki Ka’bah, kamu ini semua benar-benar telah beriman”. (Hadist Riwayat Thabrani)

Dari hadist diatas dapat dilihat bahwa tanda seorang itu beriman bukan hanya dengan melakukan ibadah-ibadah ritual, tetapi tanda beriman adalah bagaimana bersikap dalam menerima sesuatu. Jika dia menerima nikmat, maka orang beriman akan bersyukur dengan mempergunakan nikmat dengna sebaik-baiknya sesuai dengan perintah Allah, dan jika seseorang yang menerima nikmat, tetapi malah memakai nikmat tersebut untuk sesuatu yang tidak berguna, seperti menghambur-hamburkan uang kemana dia suka, tanpa pernah memikirkan orang lain, berarti orang tersebut bukanlah orang yang benar-benar beriman, walaupun dia melakukan zikir, shalat, umrah dan lain sebagainya. Apalagi jika dia memakai harta kekayaannya untuk kemaksiatan atau dosa maka mereka itu bukanlah orang yang benar-benar beriman.

“berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab [1097]: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (QS. An-Naml : 40)

[1097] Al kitab di sini Maksudnya: ialah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman ialah Taurat dan Zabur.

Bagi orang beriman, jika kemenangan dan kenikmatan yang didapat menjadi penyebab bertambahnya dosa korupsi dan kesempatan memperkaya diri berarti kemenangan pemilu bukan kenikmatan, tetapi merupakan “istidraj”, tangga menuju kehancuran dan siksaan, sebagaimana di terangkan dalam kitab suci Al-Quran :

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”

Seorang yang beriman yakin bahwa mendapat musibah, kegagalan, dan kekalahan terdapat kebaikan, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran :

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa [278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata [279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

[278] Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

[279] Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.

Semoga mereka yang menang dapat membuktikan kesyukuran mereka dengan memberikan kebaikan dan pelayanan kepada rakyat, sesuai dengan amanah yang diberikan keatas mereka.

Tanda kedua orang beriman adalah sabar dalam menghadapi musibah dan cobaan,, sebab segala sesuatu datangnya dari Allah Ta’ala. Orang beriman yakin dan percaya bahwa dibalik musibah terdapat rahasia kehidupannya. Sehingga musibah itu bukanlah suatu bencana tapi sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kebaikan dirinya sendiri. Inilah tanda orang beriman dalam menghadapi musibah.

Dalam Al-Quran dinyatakan :

“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 216)

Bagi mereka yang kalah di dalam pilihan umum, janganlah bersikap sedih, stress, apalagi sampai bunuh diri, sebab menurut Allah kekalahan tersebut lebih baik daripada dia mendapat kemenangan. Bayangkan jika seandainya menang, mungkin dengan kemenangan itu dia akan terlibat dengan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan lain sebagainya, maka untuk kondisi seperti itu lebih baik kalah, walaupun sudah menghabiskan uang berjuta-juta, daripada menang tetapi nanti akibat serakah maka masuk penjara, tambah lagi siksaan di dalam neraka. Jadi biasa saja kekalahan seorang caleg merupakan penyelamatan dirinya dari masuk ke dalam dosa akibat tidak dapat menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

Tanda ketiga orang yang beriman adalah ridha dengan keputusan Tuhan. Ridha berarti menerima keputusan, kalah atau menang dengan hati lapang. Jika mendapat kemenangan maka siap untuk menjalankan tugas sebagai tanda kesyukuran kepada Tuhan, dan jika dinyatakan kalah, maka terima dengan hati yang lapang, dan merasa itu lebih baik dari ada menang. Seorang ulama tasauf, Ibnu Athaillah Sakandari menyatakan :

“Keridhaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Tuhan bagi si hamba dan meninggalkan ketidaksenangan.”

Bagi orang yang beriman, kalah dan menang baginya sama saja, dua-duanya merupakan ujian Allah. Menang berarti Allah menguji dia apakah dia bersyukur dan dapat menjalankan amanah dengna baik sedangkan kalau kalah, berarti Allah menguji kesabarannya, dan memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menilai diri terhadap hidupnya selama ini, dan dengan penilaian tersebut dia dapat meningkatkan amal saleh, pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat, Itulah sebabnya Umar bin Khattab berkata :

“Saya tidak perduli apakah hari ini saya mendapat nikmat atau mendapat musibah.” Mengapa demikian…? Karena bagi Umar, nikmat atau musibah sama-sama ujian dari Allah. Jika dengna nikmat dia dapat bersyukur, maka dia lulus ujian, dan jika dengan musibah dia dapat bersabar, berarti dia lulus ujian.

Oleh sebab itu, pernah suatu hari Khalifah Umar bin Khattab menulis surat kepada gubernur Abu Musa al Asyari :

“segala kebaikan terletak di dalam keridhaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang ridha, dan jika engkau tidak mampu, maka jadilah orang yang sabar.”

Bagi caleg yang beriman, kemenengan atau kekalahan sama saja baginya, kalau menang merupakan kesempatan beramal untuk rakyat, dan kalau kalah berarti selamat dari perangkap bencana di dalam dewan, sebab keridhaan kita terhadap ketentuan dan taqdir Allah merupakan kunci untuk mendapat keridhaan Tuhan seperti dinyatakan dalam Al-Quran :

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”

Semoga kita, khususnya para caleg, dapat bersyukur dengan kemengan, bersabar dengan kekalahan dan ridha dengan semua keputusan Allah.

Fa’tabiru Ya Ulil Albab

 

Sumber : M.Arifin Ismail MA.M.Phill

Diedit Oleh : Agus Wahyudi

Kamis, 18 Juni 2009

Apa Yang Kita Kejar Dalam Hidup

 

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoiNya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam SyurgaKu.” (Al-Fajr : 27-30)     

         Dalam hidup ini pasti ada tujuan yang hendak kita capai. Karena tujuan itulah orang kemudian mengejarnya dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang ada pada dirinya. Lalu, apa yang hendak kita tuju dalam hidup ini…? Apa yang mau kita kejar dalam hidup ini…? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Dari pandangan manusia pada umumnya hingga ajaran agama-agama serta pandangan filsafat. Namun, tentu saja yang paling tepat dan memncapai kebenaran yang essensial hanyalah satu yaitu petunjuk dan bimbingan Allah SWT dalam Al-Quran.

         Pada umumnya, manusia memandang bahwa tujuan dan target yang hendak dicapai dalam hidup ini adalah kebahagiaan (al-sa’adah). karena itu, berlomba-lombalah manusia mengejarnya dalam hidupnya. Ada yang menganggap bahwa terakumulasinya kekayaan material adalah kebahagiaan. Tetapi, dalam kenyataannya banyak orang yang berharta justru merasakan tidak bahagia.

         Ada orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu dicapai bila memiliki kesempurnaan jasmani. Realitasnya banyak orang yang berbadan sehat justru mengeluh karena tidak bahagia. Ada juga yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu dicapai bila memiliki kewibawaan yang tinggi karena jabatan dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Banyak orang “besar” justru merasa tidak bahagia.

         Agama-agama di dunia inipun memberikan resep tentang bagaimana hidup bahagia itu. Agama Hindu mengatakan bahwa bahagia it dicapai bila orang bisa : pertama, menguasai diri dari pengaruh hawa nafsu, kedua hidup sederhana, ketiga bersatu dengan Brahma. Agama Budha lain lagi, dikatakan bahwa bahagia bisa dicapai bila kita bisa : samadhi, mengasingkan diri, tenang dari dalam/biologis, tenang dari rasa, dan tenang abadi di Nirwana.

         Kalangan ahli filsafat berpendapat lain lagi. Mereka seperti Phitagoras, Socrates, dan Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan dicapai bila menusia memiliki hikmah, keberanian, kehormatan dan keadilan. Lebih jauh dikatakan oleh Aristoteles bahwa kebahagiaan adalah “aedomonie” yang dituju oleh semua manusia.

         Kalangan ahli Filsafat materialis mengatakan bahwa kebahagiaan itu dicapai melalui segala yang berbentuk material, seperti kepuasan jasmani, badan sehat, dan hidup serba cukup. Leo Tolstoy (1828-1910) berpendapat bahwa kebahagiaan itu berupa faham-faham dalam diri manusia namun kebahagiaan yang sejati bila dapat mencintai sesama.

         Prof.Mc.Dogall, seorang psikolog Barat, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dicapai melalui tiga tingakatan yaitu: kelezatan fisik (pleasure), kegembiraan psikis (joy), baru kebahagiaan (happiness).

         Dari semua resep kebahagiaan itu ternyata Al-Quran memuat makna kebahagiaan dalam lebih dari sepuluh ayat. Yang bila diteliti secara cermat dan mendalam akan dapat disimpulkan bahwa dreskripsi Al-Quran itu memuat semua resep kebahagiaan yang ada di tengah masyarakat manusia. Misal dalam surat Al-Zukhruf : 71 Al-Quran mengindikasikan kebahagiaan dalam kelezatan (delicious). Dalam surat Hud : 3, kebahagiaan itu disebutkan sebagai mata’ atau perhiasan hidup berupa kesenangan-kesenangan lahiriah. Dalam surat Al-Nahl : 53, kebahagiaan itu diidentikkan dengan kenikmatan baik lahir maupun batin (Lukman : 30).  

         Dalam surat Al-Mu’minun : 1, kebahagiaan itu diperoleh bila orang beriman dengan segala menifestasinya seperti shalat yang khusyu’, memelihara kehormatan diri, memelihara amanat dan janji, serta selalu menjaga shalat dengan segala hak-haknya. Dalam surat Al-Fath : 36, disebutkan bahwa kebahagiaan itu bila orang mendapatkan “sakinah” atau ketenangan batin. 

         Dalam surat Al-Nahl : 112, kebahagiaan itu diungkapkan Allah SWT melalui adanya rasa aman. Sedangkan dalam ayat lain kebahagiaan itu adalah al-Salam atau keselamatan dan kesejahteraan. Dalam surat Ali Imran : 17, kebahagiaan itu bila orang merasa gembira dan girang (farhan). Dalam surat yang sama pada ayat 171, kebahagiaan itu bila orang merasakan kegembiraan (bisyarah). Sementara itu, dalam surat Hud : 108, kebahagiaan itu disamakan dengan “al-Salam” berupa kehidupan yang kekal di akhirat kelak.

         Ada yang menarik, dan relevan dengan trend dewasa ini, bahwa kebahagiaan itu justru diperoleh orang setelah orang melakukan kerja keras (amal saleh) yang didasarkan atas iman kepada Allah. dalam surat Al-Nahl : 97, disebutkan bahwa siapa yang beramal saleh baik laki-laki maupun permepuan padahal ia beriman maka pastilah Kami (Allah SWT) akan menghidupkannya dengan “hayatan tayyibah” kehidupan yang baik. Jadi, menurut ayat ini kebahagiaan itu baru dicapai bila orang telah bekerja keras untuk mencapainya yaitu dengna bermodalkan iman dan beramal yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

         Kehidupan yang baik itu hanya akan dapat diraih dengan baik bila melakukan ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya. Juga merasa takut untuk berbuat yang dapat menimbulkan ketidak ridhoan Allah SWT.

         Bila semua resep kebahagiaan itu kita sederhanakan maka kebahagiaan itu dapat diformulasikan sebagai kecenderungan hidup untuk bisa hidup dalam kelezatan dan ketenangan di duia dan di akhirat. islam memang sesuai dengan fitrah manusia. Semua kecenderungan itu sejalan dengan fitrah manusia. Tidak bertentangan dengan naluri manusia.

         Kalangan sufisme mengatakan bahwa kebahagiaan berdasarkan surat Al-Fajr : 27-28, adalah diperolehnya perjumpaan dengan Tuhan (Allah SWT) atau “liqo rabbi”. Bertemu Allah SWT adalah kebahagiaan yang sejati. Karena disadari bahwa setiap manusia berasal dari Allah SWT, karenanya perjumpaan kembali denganNya adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Jalannya adalah dengan mendekatkan diri (taqarrub ilallahi).

         Mempertahankan iman dan meningkatkan amal saleh. Selain itu, negara berdasarkan UUD 1945 berkewajiban untuk membahagiakan warganya dengan cara menjadikan mereka hidup dalam kesejahteraan. Seperti negara-negara lain di dunia ini, tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk maksud menjadikan negara sebagai “welfare state”, negara kesejahteraan. para ahli Filsafat Islam seperti Al-Farabi atau ahli “fiqh siyasah” seperti Al-Mawardi juga berpendapat demikian.

Fa’tabiru ya Ulil Albab

Sumber : H. Soetrisno Hadi

Diedit oleh : Agus Wahyudi

Senin, 15 Juni 2009

Pemimpin Adil & Zuhud

 

“Jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (QS. Al-Maidah/5 : 42)

         Islam telah memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia secara individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Al-Ghazali melukiskan hubungan antara berikut :

“Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat”.

         Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, kekuasaan tanpa negara yang bersifat memaksa, agama akan berada dalam kondisi bahaya, dan tanpa adanya agama, negara pasti menjadi tirani. kekuasaan tanpa agama, atau agama tanpa kekuasaan, akan merusak kondisi dan tatanan hidup manusia.

         Dalam Al-Quran, ada prinsip-prinsip penting yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memilih pemimpin. Ada pula beberapa hadist yang mengisyaratkan pentingnya pembentukan kepemimpinan atau pemerintahan, antara lain sabda Rasulullah yang mengatakan :

“Bila tiga orang melakukan perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)”.

        Sekecil apapun jumlah komunitas manusia, maka disana harus ada kepemimpinan yang berkuasa atas mereka, supaya komunitas tersebut dapat hidup teratur sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka sepakati.

        Ibnu Taimiyyah menjelaskan betapa kekuasaan itu penting, dan oleh karenanya harus diupayakan agar proses mendapatkannya dilakukan secara benar. Dijelaskan bahwa ada beberapa perintah agama yang tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya pemimpin yang baik. Perintah-perintah seperti mengumpulkan dan membagikan zakat, mengadili tindak kejahatan, menerapkan perintah jihad, dan lain-lain tidak akan efektif tanpa adanya kekuatan dari penguasa politik yang baik. Banyak sekali perintah agama yang hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kekuasaan pemimpin yang baik.

        Allah membenarkan menggunakan kekuatan demi tegaknya keadilan :

“Dan kami ciptakan besi yang mempunyai kekuatan yang hebat dan berbagai menfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hadid/57 : 25)

        Dalam suata negara, kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan Ahl Al-Syawkah (kelompok yang mempunyai kekuatan, para wakil rakyat). Mereka orang yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan itu menjadi tanggung jawab bersama.

        Dijelaskan oleh Ibn Taimiyyah bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan untuk berlaku zhalim kepada orang lain dengan bersikap sombong, dengki, dan merampas haknya. manusia juga mempunyai kecenderungan untuk berlaku zhalim kepada dirinya sendiri dengan cara mengumbar hawa nafsu untuk melakukan hal-hal yang negatif. Oleh karena itu, Islam mewajibkan umatnya untuk memerintah secara baik dan melarang yang munkar, serta melakukan jihad agar keadilan bisa terwujud. (Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, h. 82-83).

        Mengaharapkan tegaknya keadilan tanpa kekuatan adalah khayalan yang tidak berarti. Kesewenang-wenangan harus ditumpas melalui kekuatan jihad sesuai dengan kemampuan. Rasulullah bersabda :

“Siapa yang melihat kemungkaran dan sanggup merubahnya dengan kekuatan tangannya, maka hendaknya dia merubahnya dengan (kekuatan) tangannya. Bila tidak mampu, maka merubahnya dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan halnya itu merupakan iman yang paling lemah”. (H.R. Abu Dawud)

“Al-Yadd” (tangan) adalah kekuatan yang menumpas kemungkaran, dan dalam kontek maka untuk menegakkan keadilan itu diperlukan penguasa adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan hak-hak kepada pemiliknya, dan menindak setiap orang yang melanggar.

Ibnu Taimiyyah berkata :

“Bila seorang pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai kemampuan, maka dia adalah orang yang paling utama untuk zamannya, dan menjadi salah satu pejuang utama di jalan Allah”.

        Lagipula dikatakan bahwa ada hadist dari Ibnu Abbas diriwiyatkan Thabrani menyatakan :

“Yaum min imam ‘adil afdhal min ‘ibadah sittin sanah, “Sehari bersama seorang imam (pemimpin) yang adil, lebih utama daripada beribadah selama 60 tahun”. (Targhib wat Tarhib, jilid 3, hal.102)

        Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan, Nabi SAW bersabda :

 “Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya kepada-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, dan orang yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan yang paling pedih siksanya adalah seorang pemimpin tiran”.

        Pemimpin yang adil akan diuji dengan sikapnya terhadap harta. Jika seorang pemimpin dapat bersikap zuhud, tidak tergiur oleh harta, barulah dia dapat menjadi pemimpin yang adil. Akan tetapi jika pemimpin tersebut masih termasuk orang yang cinta harta, apalagi rakus dengan harta, maka sangatlah sukar bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil.

Pepatah Arab mengatakan : “Shalatu aadah, was saumu jaladah, fakhtabirunnasa bil mal”. Orang sholat itu biasa, orang berpuasa juga hanya sebuah sifat mulia, tetapi jika ingin menguji keimanan sesorang, ujilah orang itu dengan harta benda”.

        Pada suatu hari Khalifah Umar bin khattab sedang menangis terisak-isak. Tiba-tiba datanglah Abdurrahman bin Auf bertanya :”Wahai khalifah Umar, apa yang membuatmu menangis? khalifah Umar berkata : Wahai Abdurrahman bin Auf, lihatlah ke kamar itu (sambil menunjuk sebuah kamar), itu yang menyebabkan aku menangis”. Abdurrahman melihat ke dalam kamar ternyata di dalamnya penuh dengan tumpukan emas. Abdurrahman bertanya : Mengapa engkau  menangis…? Umar menjawab : “Ini musibah bagiku, sebab aku diuji Allah dengan datangnya emas yang banyak ini. Tolonglah engkau bagikan semua emas itu kepada rakyat yang memerlukan, sehingga tidak ada tersisa sedikitpun, dan kepemimpinan ku lulus dari ujian harta kekayaan ini”.

        Sejarah Islam sudah banyak menceritakan sosok-sosok pemimpin yang adil dan zuhud sejak dari kepemimpinan Nabi Muhammad saw, dilanjutkan oleh kepemimpinan khulafa’urrasyiddin, dilanjutkan pemimpin yang adil dari bani Umayyah seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan juga dari Bani Abbasiah seperti khalifah Harun Rasyid.

        Demikian juga kepemimpinan dinasti Ayubiyah seperti Nuruddin Zinki, dengan panglima perangnya Salahuddin al Ayyubi, sampai kepada kepemimpinan Sultan Abdul Hamid dari dinasti Usmaniyah.

        Dalam sejarah nusantara kita mendengar Sultan Iskandar Muda yang sangat adil memerintah kerajaan Aceh, sehingga dapat menegakkan keadilan walaupun dengan menghukum anaknya, putera mahkota kerajaan. Pada zaman kemerdekaan, kita melihat bagaimana seorang perdana menteri Muhammad Natsir tetap hidup dengan kesederhanaan, walaupun jabatan menteri berkali-kali disandangnya. Akhir-akhir ini kita masih melihat ada sosok pemimpin yang adil dan zuhud seperti presiden Iran, yang tetap tidur diatas karpet, dan memberikan permadani istana untuk masjid. Pada waktu perkawinan anaknya, para tetamu cukup disuguhi dengan roti, buah jeruk dan air putih. Demikian juga Menteri Besar negeri Kelantan di Malaysia, walaupun sudah menduduki kursi gubernur selama lima belas tahun, dan menjadi anggota dewan selama dua puluh lima tahun, dia tetap tinggal di rumahnya yang berdinding papan. Gambaran sosok pemimpin yang adil dan zuhud telah banyak dalam sejarah Islam. Sejarah juga membuktikan bahwa hanya pemimpin yang adil dan zuhud saja yang dapat memimpin masyarakatnya dengan penuh keadilan.

        Siapakah yang akan memimpin bangsa kita ini…? Semuanya tergantung bagaimana masyarakat mencari sosok pemimpin yang diidam-idamkannya, sebagaimana kata pepatah Arab yang berbunyi :

“Sayyidul Qaumi, mir’aatu qaumihi”. Pemimpin suatu kaum adalah cermin (refleksi) dari keadaan masyarakatnya.

Fa’tabiru ya Ulil albab

 

Sumber : M. Arifin Ismail M.A.M.Phil

Diedit oleh : Agus Wahyudi

Jumat, 12 Juni 2009

Tauhid Persatuan

 

        Puji Syukur kehadirat Allah swt. Karena dengan kasihNya telah diturunkan agama, menciptakan Alam semesta yang kaya, akal dan fikiran, panca indera dan hati nurani, itu semua diciptakanNya sebagai pembeda manusia dengan ciptaan lainnya, sebagai khalifah di atas muka bumi ini. Sebagai rasa syukur, merupakan suatu keniscayaan untuk menggunakan ciptaanNya secara komprehensif dan proporsional, karena akal fikiran, hati nurani dan agama tidak bisa dilihat dengan cara pandang dikotomis, mereka merupakan kesatuan holistik bukan partial.
         Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah saw. yang telah membimbing umatnya untuk memahami dan menghayati apa arti agama, dan menggunakan semesta-akal-nurani dengan bijaksana. Menyatukan umat dari segala bentuk pembeda primordial kesukuan, warna kulit dan berbagai bentuk turunan ’fanatisme’ lainnya. Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikan hal-hal primordial sebagai sebab atau ikatan jalinan yang menumbuhkan persatuan antar manusia. Allah memang menyebutkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, namun Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menjadikan faktor suku atau bangsa sebagai faktor perekat. Eksistensi suku dan bangsa yang beraneka ragam di tengah pergaulan antar manusia merupakan sebuah fakta yang tak terelakkan, tetapi bukan berarti persatuan berdasarkan kesamaan suku atau bangsa merupakan persatuan yang dianjurkan apalagi diperintahkan oleh Allah maupun RasulNya. Malah sebaliknya kita temukan sebuah hadits yang mencela persatuan sekedar berdasarkan fanatisme golongan, baik itu golongan berdasarkan kesamaan suku atau warna kulit.

“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme golongan).” (HR Abu Dawud)

          Diutusnya rasulullah saw. untuk semua umat manusia merupakan cerminan dari persatuan tanpa landasan fanatisme primordial, ini juga yang membedakan Islam dan lainnya yang diturunkan untuk suatu golongan tertentu dan pada masa tertentu pula. Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam adalah rahmat bagi semesta alam, demikianlah slogan yang senantiasa menghiasai atmosfer keagamaan kita, entah dari ormas, orpol maupun gerakan keagamaan lainnya semuanya mengakui slogan yang indah itu. Namun apabila kita lihat fenomena keberagamaan saat ini antara ajaran dan tindakan bagaikan jauh api dari panggang. Fenomena
inilah yang kemudian membuat para sosiolog beramai-ramai menyematkan berbagai atribut pejoratif terhadap Islam dari gelar ekstrimis, fundamentalis hingga yang paling vulgar, teroris. Islam, sebuah ajaran yang maha sempurna yang pernah turun diatas muka bumi, yang berarti bahwa Islam mempunyai nilai universal, nilai yang tidak akan pernah lekang ditelan zaman. Hal inilah yang kemudian memunculkan ragam interpretasi dalam umat ketika memaknainya. Ada yang dengan ‘lugu’ berkeyakinan penuh bahwa al-qur’an sebagai sumber primer ajaran Islam mengandung segala-galanya dalam artian yang sangat literal, sehingga apapun yang ada dan tidak terekam dalam al-qur’an secara literal dengan mudahnya dianggap bid’ah, sesat dan tidak
islami. Di lain pihak memaknai universal dengan landasan kebebasan dan pemahaman yang liberal, sehingga melabrak aturan-aturan fundamental yang telah baku dalam al-qur’an dengan dalih universalisme Islam, pesan-pesan pluralisme dan liberalisme sudah tertanam rapi dalam barisan-barisan ayat al-qur’an, demikian menurut mereka.

          Kedua bentuk ektrimisme diatas tidak menemukan legalitasnya dalam Islam, karena Islam bukan hanya konsep ajaran yang kaku dan rigid yang harus diartikan dengan pemahaman harfiah belaka, namun ia juga tidak bisa dimaknai dengan tafsiran metaforis-liberal tanpa aturan, ia harus diletakkan secara proporsional. Disinilah nilai urgensitas ilmu tafsir dalam rangka  memahami ajaran Islam dengan komprehensif.

          Universalisme Islam, mempunyai konsekwensi bahwa Islam telah mengatur segala hal kehidupan umat manusia, baik vertikal (ubudiyah) maupun horizontal (mu’amalah) yang bila dibawa kepada makna yang lebih luas, segala aspek kehidupan manusia telah tertata rapi dalam Islam, baik itu ritual, sosial dan bernegara (politik). Kedua hal penting dalam kehidupan manusia tersebut haruslah ditopang dengan tiang yang kokoh, sehingga tidak dengan gegabah mencomot dalil-dalil agama yang sebenarnya hanya untuk memperkuat ideologi partial fanatisme kelompok. Sehingga agama dijadikan tunggangan sebagai ‘pelicin’ nafsu duniawi.

           Dalam hubungan vertikal, Islam sudah menetapkan kaidah-kaidah baku sehingga segala macam bentuk ritual yang tidak sesuai dengan pedoman harus dihindarkan, dalam era globalisasi yang terbalut erat dengan faham materialisme-hedonisme, manusia semakin jauh dari nilai spiritual, sehingga ada semacam kehausan yang teramat dalam terhadap aspek spiritual, hal ini mendorong berjamurnya berbagai gerakan olah spiritual guna menemukan ketenangan. Disini harus diingat, Islam sudah datang dengan tata cara yang sempurna dalam ritual, sehingga tidak perlu lagi mengais-ngais praktek ritual yang lain dengan dalih ketenangan. Dan Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek ritual belaka, ia juga sangat peduli dengan ranah duniawi, keduanya harus berjalan seimbang dalam diri pribadi seorang muslim. Demikian juga dalam ranah horizontal (sosial), fenomena hajatan demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia marilah kita gunakan untuk mendewasakan diri dalam bermu’amalah, Islam mengajarkan bahwa dalam segala bentuk kegiatan (baik vertikal maupun horizontal) harus berorietasi ‘mencari ridho Allah’ namun sayang hal tersebut dalam kenyataan dibalik oleh sebagian besar umat Islam, dalam beribadah, sudah banyak orientasi-orientasi selain ridho Allah yang dicari, dalam berpolitik, agama juga dibawa-bawa untuk melanggengkan kekuasaan, agama telah disobek-sobek untuk menambal ‘lobang’ hasrat duniawi.

“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa (al Baqarah 41)”

           Dalam kesempatan kali ini kami tidak akan membahas kedua aspek tersebut secara detail, namun ingin menekankan aspek fundamental yang membangun landasan etos kedua aspek ritual dan mu’amalah diatas. Hal yang paling fundamental dalam membangun etos kerja islami adalah pemahaman tentang tuhan dengan memahami konsep tauhid yang benar. Konsep tauhid yang berlandaskan kalimat la ilaha illallah.

           Seringkali kita mendengar para penganjur keagamaan di mimbar-mimbar masjid maupun kajian keislaman, akan pentingnya lafadz lailahaillallah. Ada hadits nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya lafadz dzikir adalah lailahaillallah. Karena itu lafadz ini amatlah penting. Sehingga sebagian ulama terutama dikalangan Hanbali melarang lafaz mufrad (satu kata) seperti mengucapkan Allah, Huwa, Ilah. Mereka tidak setuju dengan ini karena kata tersebut sudah tercerabut dari konteksnya, berbeda dengan lafadz lailaha illallah yang memiliki konteks, negasi dan konfirmasi, peniadaan segala bentuk Tuhan dan penegasan terhadap keEsaan Allah.

           Ilustrasi yang baik dalam memahami hal ini adalah lambang negara kita, burung Garuda. Kenapa kita dengan rileks memajang gambar Garuda disetiap sudut ruang kantor dan rumah, padahal ia adalah kendaraan dewa Wisnu, apakah kita tidak takut musyrik? Sama sekali tidak, karena fungsi Garuda sebagai kendaraan dewa Wisnu telah kita ‘bunuh’ dengan konsep lailahaillallah. Demikian juga para mahasiswa ITB tidak bisa kita sebut musyrik karena lambang Ganesha mereka, Ganesha adalah dewa ilmu dalam mitologi Hindu. Apakah itu berarti para mahasiswa dan dosennya ngalap berkah dari sang Ganesha? Sama sekali tidak, mereka telah membunuhnya dengan lafadz lailahaillallah. Hal inilah dalam konteks sosiologis disebut sebagai sekularisasi, devaluasi atau kadang juga disebut dengan demitologisasi.

           Dalam garis searah diataslah, almarhum Buya Hamka, misalnya, pernah menyatakan patung halal, karena sudah tinggal seni, dulu mungkin patung disembah, tapi dengan datangnya Islam patung-patung tersebut telah dibunuh dengan lafadz lailahaillallah, sehingga tinggal nilai seninya saja. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa tauhid adalah pembebasan manusia dari unsur mitologis. Tauhid tidaklah cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pengertian yang benar tentang Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepadaNya dan juga kepada objek selain Dia. Dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, atheime bukanlah problem utama manusia. Problem utama manusia adalah politeisme ‘syirik’ yaitu kepercayaan yang sekaligus berpusat pada Allah tapi masih membuka peluang bagi adanya kepercayaan lain yang dianggap bersifat Ilahi, meskipun lebih rendah dari Allah. Dari sudut lain, ateisme itu juga merupakan politeisme dalam bentuk lain, karena meskipun dalam pengakuan menyebut ateis, tapi dalam tataran praksis mereka mengambil sesuatu yang lain sebagai Tuhan.

           Dari sinilah mengapa program utama al Qur’an adalah pembebasan manusia dari belenggu faham banyak Tuhan, dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang berlandaskan pada al nafyu wa al itsbat (negasi dan konfirmasi) yaitu tiada Tuhan selain Allah.

            Selanjutnya, kebebasan yang sudah kita peroleh harus diisi dengan kepercayaan yang benar, karena hidup tanpa kepercayaan sama sekali mustahil. Kebebasan tiada batas akan mengundang datangnya tirani. Karena itu, kebebasan benar-benar punya arti, bilamana ia diiringi ketundukan pada Tuhan. Dengan demikian proses pembebasan itu tidak lain adalah pemurnian kepercayaan kepada Allah swt. pertama dengan melepas segala kepercayaan palsu dan kedua pemusatan kepercayaan hanya pada yang benar. yang menurut Ibn Taymiyya disebut dengan tauhid uluhiyyah. Halangan utama untuk mendapatkan pembebasan adalah keangkuhan kita dan belenggu yang kita ciptakan sendiri, belenggu hawa nafsu, Allah berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?(al Jatsiah 23)”

          Hawa nafsu inilah yang kemudian menjadi sumber pandangan-pandangan subjektif, yang menjadikan kita biased, dan menjadi dasar fenomena orang yang menuhankan diri sendiri. Ia kemuadian memutlakkan pandangannya sendiri atau terkungkung oleh tirani vested interestednya, Allah telah memberikan contoh dalam al Qur’an :
”Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”

          Implikasi dari pembebasan ini adalah keterbukaan individu yang tanggap dan kritis dalam permasalahan kepalsuan dan kebenaran yang beredar dalam masyarakat. Efek pembebasan diatas akan mengalir kemudian dari yang sifatnya individual menuju sosial. Prinsip tauhid berkenaan dengan penolakan tehadap thaghut (yang melewati batas) sehingga konsekwensi logis darinya adalah pembebasan sosial yang bersifat egalitarian. Tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang bersifat demokratis berdasarkan musyawarah yang memungkinkan tiap anggota masyarakat untuk saling mengingatkan tentang apa yang benar, dan ketabahan dalam menjalani hidup.

           Dengan demikian, sebagai bangsa muslim yang mayoritas, dan bangsa muslim terbesar didunia, sudah semestinya kita berusaha memahami konsep tauhid dengan benar, dan kita jadikan landasan normatif dalam tiap langkap ritual vertikal dan horizontal, sehingga terciptanya bangsa yang adil makmur dan sejahtera bukanlah impian utopis belaka, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.

            Untuk itu tauhid yang benar juga harus diikuti dengan etos kerja yang benar, ia harus memiliki komitmen yang kuat (niat) begitu urgennya posisi komitmen dalam Islam sehingga rasulullah bersabda :
”Bahwa setiap kegiatan harus berlandaskan komitmen, dan tiap individu akan dihitung dengan ketulusan niatnya, tinggi rendah kerja diikuti oleh komitmen pelakunya”.

            Tentu saja komitmen ini dikalangan umat Islam sudah menjadi sesuatu yang taken for granted dinisbahkan kepada Allah, untuk mencari ridha Allah swt. Sehingga mengerjakan sesuatu demi Allah berimplikasi bahwa kita tidak boleh secara sembrono semrawut dan acak acakan dalam berbuat. Sebab hal tersebut akan membuat niat kita absurd, karena tanpa ketulusan (ikhlas). Karena itu kemudian dalam setiap pekerjaan dituntut sikap ihsan (optimal) . Inilah etos kerja yang perlu ditumbuhkan ditengah umat Islam, agar bangsa Indonesia bisa lebih baik dimasa yang akan datang. Amin…

Fa’tabiru Ya Ulil Albab

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com

Di edit oleh : Agus Wahyudi

Kamis, 11 Juni 2009

Amanah dan Tanggung Jawab

 

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin…, apakah dia telah menjaga kepemimpinannya atau menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Menurut hadist dari Ibnu Asakir dari Salim bin Abdullah bin Umar menyatakan bahwa tatkala Khalifah Abubakar Siddiq hampir menemui ajalnya, maka beliau memberikan wasiat :

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang… Ini adalah sumpah dari Abubakar di saat-saat terakhir dari kehidupan dunia dan disaat awal dari kehidupan akhirat (sebelum kematian datang) dimana seorang yang kafir dapat berubah menjadi seorang beriman, seorang yang jahat dapat berubah menjadi orang yang bertaqwa, dan seorang yang berdusta dapat berubah menjadi orang yang berkata benar. Sesungguhnya aku melantik Umar bin Khttab sebagai khalifah penggantiku, maka sekiranya beliau melakukan keadilan, maka itu sebagaimana yang aku harapkan, dan sekiranya dia melakukan kejahatan maka ia akan bertanggungjawab ke atasnya. Aku hanya inginkan kebaikan sebagaimana yang aku harapkan darinya dan aku tidak mengetahui yang ghaib”.

Kemudian Abu Bakar memanggil Umar bin Khattab dan berkata :

“Wahai Umar, orang yang marah akan menunjukkan kemarahannya kepadamu dan orang yang kasih kepadamu akan mengasihimu. Ketahuilah bahwa telah menjadi suatu kebiasaan sejak lama dimana kebaikan akan ditentang dan kejahatan akan disukai”.

Mendengar ucapan demikian, Umar menjawab : “Kalau demikian, aku tidak berhasrat dengan jabatan khalifah tersebut”.

Abu Bakar langsung berkata : “Tetapi jabatan khalifah tersebut memerlukan kamu. Sesungguhnya kamu telah melihat Rasulullah SAW melaksanakan amanah dan tanggung jawab kekhalifahan, dan kamu telah mendampingi beliau. Kamu telah melihat bagaimana Rasulullah lebih diutamakan dari diri kami sendiri, sehingga kami akan menyerahkan kepada ahli keluarganya sebagian dari hadiah yang beliau berikan kepada kami. Dan kamu telah mendampingiku dalam menjalankan khalifah ini. Sesungguhnya aku hanya mengikuti orang sebelumku (Rasulullah). Demi Allah, aku tidak berkata kepadamu mengenai suatu mimpi, tidak juga suatu igauan, dan sesungguhnya aku tidak berada di atas jalan yang sesat. Ketahuilah wahai Umar, sesungguhnya terdapat kewajiban kita kepada Allah (berupa amanah yang harus kita laksanakan langsung), dimana Dia tidak menerimanya jika hal tersebut di waktu siang dan juga ada tugas dan kewajiban di waktu siang dimana Dia tidak akan menerimanya di waktu malam”.

Abu Bakar melanjutkan : “Dan ingatlah bahwa mizan (timbangan amal di hari akhirat nanti) akan berat pada padang mahsyar nanti jika kita benar-benar mengikuti cara mereka yang terdahulu (Rasulullah), dan menjadi kewajiban kepada mizan untuk menjadi berat jika di dalamnya terdapat perbuatan yang benar (hak). Dan sesungguhnya aku takut jika mizan itu nanti menjadi ringan lantaran mereka (penguasa) mengikuti cara-cara yang salah (batil), dan menjadi kewajiban atas mizan untuk menjadi ringan jika di dalam mizan itu terdapat perkara yang batil. Orang yang pertama aku peringatkan adalah dirimu dan aku memperingatkan dirimu agar menjauhi diri dari manusia yang memandang kepada kebendaan yang memuaskan hawa nafsu dimana mereka mempunyai pilihan untuk mengelakkan diri tergelincir kedalam hawa nafsu tersebut. Hendaklah kamu memelihara dirimu dari tergelincir lantaran mereka akan tetap takut kepadamu selagi kamu takut kepada Allah. Inilah wasiatku dan aku ucapkan selamat kepadamu”.

Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani, dari AlGhar bin Malik menyatakan bahwa tatkala Abu Bakar ingin melantik Umar bin Khattab sebagai khalifah, maka beliau mengirim utusan memanggil Umar dan berkata kepadanya :

“Wahai Umar, aku mengajak kamu kepada suatu tanggung jawab yang meletihkan orang yang memegangnya. Maka takutlah kepada Allah dengan mentaati perintahNya dan dengan bertaqwa kepadaNya, karena sesungguhnya taqwa itu adalah pelindung dari segala dosa. Sesungguhnya jabatan dan tanggung jawab ini hanya dapat di pegang oleh mereka yang melaksanakan tanggung jawab. Siapa saja yang menyuruh melakukan kebaikan tetapi ia sendiri melakukan kejahatan, dan siapa saja yang menyuruh melakukan hal yang makruf tetapi dia sendiri melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka dia akan kehilangan ganjaran dan segala amalnya akan dibatalkan. Maka sekiranya engkau mengurus urusan rakyat maka hendaklah kamu berusaha mengelak dari sesuatu yang dapat menumpahkan darah, dan kamu harus menjauhkan perut kamu dari tamak kepada harta benda mereka. Begitu juga hendaklah menjaga lidah daripada menghina kehormatan rakyat, dan lakukanlah tanggung jawab tersebut, dan tiada kekuatan melainkan pertolongan daripada Allah”.

Demikianlah beberapa wasiat yang disampaikan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sewaktu Umar dilantik menjadi khalifah, sehingga sejarah telah membuktikan bagaimana Umar dapat menjalankan tugas dengan sebenar-benarnya.

Sejarah membuktikan bagaimana Umar bin Khattab selalu berjalan di tengah malam hanya untuk melihat apakah di sudut-sudut wilayah kekuasaannya ada orang yang masih menderita, sehingga suatu malam dia mendengar rintihan sebuah keluarga yang miskin tidak mempunyai apa-apa, maka dengan segera dia membawa sendiri karung gandum untuk menolong rakyatnya tersebut.

Umar juga berusaha untuk melaksanakan keadilan sehingga sejarah mencatat sewaktu Umar bin Khattab berjalan bersama pembantunya dengan mengendarai seekor unta menuju palestina untuk mengambik kunci Baitul Maqdis, maka beliau membagi waktu yang adil dengan pembantunya dalam menaiki kendaraan. Jika Khalifah diatas, maka pembantu berjalan mengiringi Khalifah, dan jika pembantu diatas unta, maka Khalifah berjalan mengiringi pembantunya. Sehingga sewaktu mereka tiba di Baitul Maqdis, para penjemput khalifah tidak mengetahui yang mana Khalifah sebenarnya, sebab pada waktu itu Khalifah Umar berjalan kaki mengiringi unta Khalifah yang sedang ditunggangi pembantunya. Penjemput Khalifah Umar juga tidak dapat membedakan mereka sebab pakaian Khalifah sama dengan pakaian pembantunya.

Umar melakukan hal demikian sebab dia tidak ingin mendzalimi pembantunya dan juga tidak ingin mendzalimi untanya. Sedangkan zuhudnya Umar telah terbukti pada waktu kekhalifahan Islam terbuka ditangannya dengan penaklukan seluruh semenanjung Arab dan berlimpahnya harta kekayaan Negara, tetapi Umar tetap hidup dengan sederhana, sehingga sejarah menyatakan bahwa khalifah Umar setiap kali makan, beliau hanya makan roti keras dengan minyak samin, dan hanya memakan delapan kali suap.

Begitu takutnya Umar bin Khattab dengna amanah yang di pegang sehingga beliau pernah berkata :

“Seandainya ada seekor unta yang masuk ke suatu lobang di tengah kota Baghdad, maka aku akan bertanggung jawab dan akan ditanya oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti”.

Bayangkan, Khalifah Umar bin Khattab mengurus pemerintahannya dari kota Madinah, tetapi kekhalifahannya sampai ke kota Baghdad, dan dia merasa jika ada seekor unta yang terperosok ke dalam lobang di jalan-jalan kota Baghdad, maka nanti walaupun dia berada di Madinah, Allah juga akan mempertanyakan tugasnya dan menghukum keteledorannya karena tidak mengetahui adanya lobang di kota baghdad yang telah mencederakan seekor unta.

Begitulah keadaan seorang muslim yang merasa bertanggung jawab atas segala amanah yang diterimanya dengan menduduki jabatan Khalifah. Bagaimana dengan muslim hari ini, yang menang dalam pemilihan umum dan menduduki jabatan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat…?

Jika Umar yang telah dijamin surga masih takut ditanya Allah tentang unta yang masuk ke lobang, bagaimana pertanyaan Allah kepada wakil rakyat yang mengaku mewakili rakyat…?

Selamat memasuki dewan dan bersiap-siaplah ditanya oleh Allah di hari kemudian kelak.

 

Fa’tabiru ya Ulil Albab

 

Sumber : M. Arifin Ismail. MA.M.Phil

diedit oleh : Agus Wahyudi

Amanah dan Tanggung Jawab

 

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin…, apakah dia telah menjaga kepemimpinannya atau menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Menurut hadist dari Ibnu Asakir dari Salim bin Abdullah bin Umar menyatakan bahwa tatkala Khalifah Abubakar Siddiq hampir menemui ajalnya, maka beliau memberikan wasiat :

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang… Ini adalah sumpah dari Abubakar di saat-saat terakhir dari kehidupan dunia dan disaat awal dari kehidupan akhirat (sebelum kematian datang) dimana seorang yang kafir dapat berubah menjadi seorang beriman, seorang yang jahat dapat berubah menjadi orang yang bertaqwa, dan seorang yang berdusta dapat berubah menjadi orang yang berkata benar. Sesungguhnya aku melantik Umar bin Khttab sebagai khalifah penggantiku, maka sekiranya beliau melakukan keadilan, maka itu sebagaimana yang aku harapkan, dan sekiranya dia melakukan kejahatan maka ia akan bertanggungjawab ke atasnya. Aku hanya inginkan kebaikan sebagaimana yang aku harapkan darinya dan aku tidak mengetahui yang ghaib”.

Kemudian Abu Bakar memanggil Umar bin Khattab dan berkata :

“Wahai Umar, orang yang marah akan menunjukkan kemarahannya kepadamu dan orang yang kasih kepadamu akan mengasihimu. Ketahuilah bahwa telah menjadi suatu kebiasaan sejak lama dimana kebaikan akan ditentang dan kejahatan akan disukai”.

Mendengar ucapan demikian, Umar menjawab : “Kalau demikian, aku tidak berhasrat dengan jabatan khalifah tersebut”.

Abu Bakar langsung berkata : “Tetapi jabatan khalifah tersebut memerlukan kamu. Sesungguhnya kamu telah melihat Rasulullah SAW melaksanakan amanah dan tanggung jawab kekhalifahan, dan kamu telah mendampingi beliau. Kamu telah melihat bagaimana Rasulullah lebih diutamakan dari diri kami sendiri, sehingga kami akan menyerahkan kepada ahli keluarganya sebagian dari hadiah yang beliau berikan kepada kami. Dan kamu telah mendampingiku dalam menjalankan khalifah ini. Sesungguhnya aku hanya mengikuti orang sebelumku (Rasulullah). Demi Allah, aku tidak berkata kepadamu mengenai suatu mimpi, tidak juga suatu igauan, dan sesungguhnya aku tidak berada di atas jalan yang sesat. Ketahuilah wahai Umar, sesungguhnya terdapat kewajiban kita kepada Allah (berupa amanah yang harus kita laksanakan langsung), dimana Dia tidak menerimanya jika hal tersebut di waktu siang dan juga ada tugas dan kewajiban di waktu siang dimana Dia tidak akan menerimanya di waktu malam”.

Abu Bakar melanjutkan : “Dan ingatlah bahwa mizan (timbangan amal di hari akhirat nanti) akan berat pada padang mahsyar nanti jika kita benar-benar mengikuti cara mereka yang terdahulu (Rasulullah), dan menjadi kewajiban kepada mizan untuk menjadi berat jika di dalamnya terdapat perbuatan yang benar (hak). Dan sesungguhnya aku takut jika mizan itu nanti menjadi ringan lantaran mereka (penguasa) mengikuti cara-cara yang salah (batil), dan menjadi kewajiban atas mizan untuk menjadi ringan jika di dalam mizan itu terdapat perkara yang batil. Orang yang pertama aku peringatkan adalah dirimu dan aku memperingatkan dirimu agar menjauhi diri dari manusia yang memandang kepada kebendaan yang memuaskan hawa nafsu dimana mereka mempunyai pilihan untuk mengelakkan diri tergelincir kedalam hawa nafsu tersebut. Hendaklah kamu memelihara dirimu dari tergelincir lantaran mereka akan tetap takut kepadamu selagi kamu takut kepada Allah. Inilah wasiatku dan aku ucapkan selamat kepadamu”.

Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani, dari AlGhar bin Malik menyatakan bahwa tatkala Abu Bakar ingin melantik Umar bin Khattab sebagai khalifah, maka beliau mengirim utusan memanggil Umar dan berkata kepadanya :

“Wahai Umar, aku mengajak kamu kepada suatu tanggung jawab yang meletihkan orang yang memegangnya. Maka takutlah kepada Allah dengan mentaati perintahNya dan dengan bertaqwa kepadaNya, karena sesungguhnya taqwa itu adalah pelindung dari segala dosa. Sesungguhnya jabatan dan tanggung jawab ini hanya dapat di pegang oleh mereka yang melaksanakan tanggung jawab. Siapa saja yang menyuruh melakukan kebaikan tetapi ia sendiri melakukan kejahatan, dan siapa saja yang menyuruh melakukan hal yang makruf tetapi dia sendiri melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka dia akan kehilangan ganjaran dan segala amalnya akan dibatalkan. Maka sekiranya engkau mengurus urusan rakyat maka hendaklah kamu berusaha mengelak dari sesuatu yang dapat menumpahkan darah, dan kamu harus menjauhkan perut kamu dari tamak kepada harta benda mereka. Begitu juga hendaklah menjaga lidah daripada menghina kehormatan rakyat, dan lakukanlah tanggung jawab tersebut, dan tiada kekuatan melainkan pertolongan daripada Allah”.

Demikianlah beberapa wasiat yang disampaikan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sewaktu Umar dilantik menjadi khalifah, sehingga sejarah telah membuktikan bagaimana Umar dapat menjalankan tugas dengan sebenar-benarnya.

Sejarah membuktikan bagaimana Umar bin Khattab selalu berjalan di tengah malam hanya untuk melihat apakah di sudut-sudut wilayah kekuasaannya ada orang yang masih menderita, sehingga suatu malam dia mendengar rintihan sebuah keluarga yang miskin tidak mempunyai apa-apa, maka dengan segera dia membawa sendiri karung gandum untuk menolong rakyatnya tersebut.

Umar juga berusaha untuk melaksanakan keadilan sehingga sejarah mencatat sewaktu Umar bin Khattab berjalan bersama pembantunya dengan mengendarai seekor unta menuju palestina untuk mengambik kunci Baitul Maqdis, maka beliau membagi waktu yang adil dengan pembantunya dalam menaiki kendaraan. Jika Khalifah diatas, maka pembantu berjalan mengiringi Khalifah, dan jika pembantu diatas unta, maka Khalifah berjalan mengiringi pembantunya. Sehingga sewaktu mereka tiba di Baitul Maqdis, para penjemput khalifah tidak mengetahui yang mana Khalifah sebenarnya, sebab pada waktu itu Khalifah Umar berjalan kaki mengiringi unta Khalifah yang sedang ditunggangi pembantunya. Penjemput Khalifah Umar juga tidak dapat membedakan mereka sebab pakaian Khalifah sama dengan pakaian pembantunya.

Umar melakukan hal demikian sebab dia tidak ingin mendzalimi pembantunya dan juga tidak ingin mendzalimi untanya. Sedangkan zuhudnya Umar telah terbukti pada waktu kekhalifahan Islam terbuka ditangannya dengan penaklukan seluruh semenanjung Arab dan berlimpahnya harta kekayaan Negara, tetapi Umar tetap hidup dengan sederhana, sehingga sejarah menyatakan bahwa khalifah Umar setiap kali makan, beliau hanya makan roti keras dengan minyak samin, dan hanya memakan delapan kali suap.

Begitu takutnya Umar bin Khattab dengna amanah yang di pegang sehingga beliau pernah berkata :

“Seandainya ada seekor unta yang masuk ke suatu lobang di tengah kota Baghdad, maka aku akan bertanggung jawab dan akan ditanya oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti”.

Bayangkan, Khalifah Umar bin Khattab mengurus pemerintahannya dari kota Madinah, tetapi kekhalifahannya sampai ke kota Baghdad, dan dia merasa jika ada seekor unta yang terperosok ke dalam lobang di jalan-jalan kota Baghdad, maka nanti walaupun dia berada di Madinah, Allah juga akan mempertanyakan tugasnya dan menghukum keteledorannya karena tidak mengetahui adanya lobang di kota baghdad yang telah mencederakan seekor unta.

Begitulah keadaan seorang muslim yang merasa bertanggung jawab atas segala amanah yang diterimanya dengan menduduki jabatan Khalifah. Bagaimana dengan muslim hari ini, yang menang dalam pemilihan umum dan menduduki jabatan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat…?

Jika Umar yang telah dijamin surga masih takut ditanya Allah tentang unta yang masuk ke lobang, bagaimana pertanyaan Allah kepada wakil rakyat yang mengaku mewakili rakyat…?

Selamat memasuki dewan dan bersiap-siaplah ditanya oleh Allah di hari kemudian kelak.

 

Fa’tabiru ya Ulil Albab

 

Sumber : M. Arifin Ismail. MA.M.Phil

diedit oleh : Agus Wahyudi

Rabu, 10 Juni 2009

Keutamaan Ilmu

 

Allah berfirman dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu, maka berdirilah’, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)

Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa ada sepuluh kelebihan ilmu dibanding harta, yaitu:

  1. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan dari Fir’aun, Qarun, dan lain-    lain.
  2. Ilmu selalu menjaga orang yang mempunyainya, sedangkan harta dijaga oleh orang yang        mempunyainya.
  3. Orang yang berilmu banyak mempunyai teman, sedangkan orang yang berharta mempunyai banyak lawan.
  4. Ilmu apabila diberikan kepada orang lain akan bertambah sedangkan harta bila diberikan akan berkurang.
  5. Ilmuwan sering dipanggil alim, ulama, dan lain-lain. Sedangkan hartawan sering dipanggil bakhil, kikir, dan lain-lain.
  6. Pemilik ilmu akan menerima syafaat pada hari kiamat, sedangkan pemilik harta akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat kelak.
  7. Ilmu apabila disimpan tidak akan habis, sedangkan harta bila disimpan akan usang dan lapuk.
  8. Ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, sedangkan harta selalu dijaga dari kejahatan.
  9. Ilmu tidak memerlukan tempat, sementara harta memerlukan tempat.
  10. Ilmu akan menyinari hati hingga menjadi terang dan tenteram, sedangkan harta akan mengeraskan setiap hati manusia.

      Itulah sepuluh kelebihan ilmu dibanding harta, Menurut ayat diatas, Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa tingkat. Oleh karenanya Allah menyuruh manusia berpikir menggali ilmu pengetahuan, membentuk majelis ta’lim, membaca ayat-ayat Allah, baik ayat yang tertulis maupun yang tercipta yaitu segala sesuatu yang diciptakan Allah misalnya langit, bumi, gunung, bintang, dll. Nasehat yang disampaikan khalifah Ali bin Abi Thalib menegaskan kepada kita bahwa ilmu lebih mulia dari pada harta, dalam mencari harta kita boleh jadi merugi, akan tetapi sejauh mana pun kita mencari ilmu tidak akan pernah ada istilah merugi.

       Iqra’ bismirobbikalladzii khalaq, (bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan), surat Al-‘Alaq ayat 1 memerintahkan kepada kita untuk membaca ayat-ayat Allah, memerintahkan kita untuk mencari ilmu, hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim, baik itu ilmu agama atau pun ilmu pengetahuan. Ilmu juga akan menambah keimanan kita, semakin dalam ilmu yang kita gali maka akan semakin bertambah pula keimanan kita.

       Sebuah penemuan besar di abad ini bahwa seluruh alam raya ini yang terdiri dari langit, bumi, bintang, galaksi, semuanya diciptakan Allah dari suatu titik tunggal yang sangat kecil tetapi mempunyai kepadatan tak terbatas. Karena sangat kecilnya titik ini, ilmu pengetahuan menggambarkannya dengan konsep ketiadaan. Kemudian para ilmuwan meyakini bahwa titik tunggal ini diledakkan, melemparkan semua material ke segala arah dan terciptalah suatu sistem alam semesta ini yang terdiri dari bumi, bintang dan seluruh galaksi. Ini adalah teori terakhir tentang terciptanya alam semesta yang diyakini oleh para ilmuwan. Dan sebenarnya, teori yang diyakini ini telah disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 30 yang artinya, “Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30)

        Dalam ayat ini disebutkan bahwa awal-mulanya langit dan bumi adalah dari sesuatu yang padu, padu di sini artinya adalah satu titik tunggal yang telah diyakini sebagai asal muasal alam semesta. Kemudian Allah memisahkan antara keduanya (yaitu langit dan bumi), maksudnya dipisahkannya masing-masing bagian dari suatu yang padu ini oleh suatu ledakan dahsyat melemparkan material-material menjadi bintang, bumi, dan langit sebagai ruang kosong di antaranya.

        Ini adalah sebuah contoh bahwa dengan mencari ilmu maka keimanan kita kepada Allah, keimanan kepada Malaikat, kepada ayat-ayat Al-Qur’an, kepada para Rasul, kepada hari akhir, dan iman kepada takdir insya Allah akan bertambah dan terus bertambah. Seorang pelajar jika ia berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ilmu di sekolahnya, belajar matematika, ilmu pengetahuan alam maupun sosial dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah dia termasuk salah seorang ahli dzikir. Dan jika kita selalu menghidupkan majelis-majelis ta’lim maka insya Allah akan tercatatlah sebagai calon-calon penghuni surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Dari Abu Hurairah RA, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menempuh suatu jalan bepergian mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”


Oleh Ustadz Sykran Makmun

di Edit oleh : Agus Wahyudi

Sabtu, 06 Juni 2009

Anakku Surgaku

 

Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu” (QS. Taghabun :15)

Dalam kitab suci Al-Qur’an ada beberapa ayat yang berkaitan tentang kedudukan dan pentingnya anak. Ayat-ayat tersebut dapat memberikan kepada kita tentang gambaran bagaimana kita bersikap terhadap anak tersebut sesuai dengan pedoman Al-Qur’an. Diantara ayat-ayat yang berkaitan tentang anak adalah :

  1. Perhiasan dan kekayaan dunia

    “Harta kekayaan dan anak-anak adalah merupakan perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. Al-Kahfi/18:46).

    Dalam ayat ini, anak disebut sebagai perhiasan dunia. Perhiasan dalam arti sesuatu yang sangat berharga sebagaimana mutiara, intan berlian dan sebagainya. Imam Al-Ghazali menyatakan :

“Anak adalah amanah pada kedua orangtuanya. hatinya yang suci adalah mutiara yang amat berharga, halus, kosong dari semua ukiran dan gambaran. Ia menerima semua yang dicondongkan kepadanya. Kalau anak itu membiasakan kebaikan dan mengetahui kebaikan, niscaya ia akan tumbuh diatas kebaikan. Ia berbahagia di dunia dan di akhirat. orang tuanya, semua guru dan pendidiknya, sama-sama berkongsi pada pahala anak itu”.

2. Buah hati (Qurrata ‘Ain)

   “Dan adalah mereka berkata : Ya Tuhan Kami, anugerahkan kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyenangkan hati  kami, dan jadikan kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Furqan :25)

   Anak yang saleh, merupakan buah hati bagi kedua orangtua. Saleh dalam urusan dunia dapat menyenangkan hati di dunia, sedangkan saleh dalam urusan akhirat menjadi buah hati di akhirat kelak, malahan do’a seorang anak dapat menaikkan tingkatan surga bagi kedua orangtuanya sebagimana dinyatakan dalam sebuah hadist :

Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat dan kedudukan hamba yang saleh di dalam surga, maka hamba itu bertanya : Ya Tuhanku, darimana aku mendapatkan kedudukan yang mulia ini…? Allah berfirman : engkau mendapatkan kedudukan ini disebabkan istighfar (doa meminta ampun) yang dilakukan oleh anakmu untukmua dahulu”. (Hadist riwayat Ahmad)

3. Pewaris Kepemimpinan

   Allah berfirman : “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata : “Dan bagaimana dengan anak dan keturunanku nani…? Allah berfirman : “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah/2 : 124)

   Seseorang yang berhasil mendidik anaknya dapat menjadikan anak sebagai pemimpin (khalifah). Prestasi kepemimpinan tersebut hanya dapat diraih jika si anak diajar, dididik, dan dilatih untuk memiliki syarat-syarat kepemimpinan seperti iman, ilmu, akhlak. Kepemimpinan tidak akan diberikan kepada anak yang ttidak memiliki syarat. Oleh sebab itu jika orang tua menginginkan anaknya dapat mewariskan kepemimpinan dunia, maka dia harus berikhtiar memberikan nilai-nilai kepemimpinan tersebut kepada anaknya sebagai generasi penerus.

4. Sebagai Ujian Kehidupan

   “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Taghabun : 15)

   Oleh sebab itu, orang tua yang memiliki anak selalu didalam ujian kehidupan, yaitu apakah orang tua dapat lulus dalam mendidik anaknya sehingga dapat mewariskan kepemimpinan tersebut atau orang tua tersebut gagal dalam mendidik anaknya sehingga kepemimpinan di masa akan datang terlepas dari keturunannya.

Imam Ghazali dalam kitab Ihya menyatakan :

“Jika orang tua membiasakan kejahatan dan mensia-siakan anaknya seperti mensia-siakan binatang ternak, niscaya anak itu akan celaka dan binasa. Dan dosa itu adalah pada leher orang yang mengurusnya dan walinya. Hal inilah sesuai dengna firman Allah :

“hai orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. At Tahrim : 6)

5. Dapat menjadi musuh dalam menjalankan agama

   “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”. (QS. At Taghabun : 14)

Jika orang tua tidak berhasil dalam proses mendidik anaknya, maka anak tersebut dapat menjadi musuh bagi orang tua tersebut, sebab kegagalan itu memberikan dampak dosa bagi orang tuanya di akhirat kelak, dan juga merupakan cela dan kehinaan baginya di dunia disebabkan oleh kejahatan yang dibuat anaknya dimasa mendatang. Tetapi jika orang tua dapat mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik, maka si anak akan menjadi penyejuk hati, menjadi penolong dan aset pahala di akhirat nanti.

6. Aset doa dan pahala

   “Maka dia (nabi Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu dan kemudian dia (Sulaiman a.s.) berdo’a : “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai dan masukkan aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. (QS. AnNaml/27 : 19)

   Jika orang tua berhasil dalam mendidik anaknya, maka anak akan tetap mengenang jasa orang tuanya dalam setiap kenikmatan yang dirasakannya sehingga dia tidak pernah lupa untuk mendoakan kedua orangtuanya tersebut. Malahan orang tua yang mendidik anak itu akan kembali berjumpa dengan anaknya di dalam surga kelak, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Quran.

  “Dan orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka tersebut dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. At Thur : 21)

  Ibnu Abbas dalam tafsirnya menyatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah: “Jika anak-anak orang yang beriman mati dalam keadaan iman, sedangkan kedudukan ayah mereka lebih tinggi dari kedudukan mereka, maka nanti di dalam surga anak-anak tersebut akan dikumpulkan dengna orang tua mereka, tanpa mengurangi sedikitpun pahala amalan mereka”.

Thabrani meriwayatkan sebuah hadist dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Jika seseorang itu masuk kedalam surga, maka dia akan bertanya tentang kedua orangtuanya dan isterinya, dan anak-anaknya, maka Allah berkata keadanya : Mereka itu tidak mendapat kedudukan yang sama dengan kedudukanmu, maka orang itu akan berkata kepada Allah : Wahai Tuhanku, saya telah berbuat amal kebaikan itu bagi diriku dan juga untuk mereka, maka Allah memerintahkannya untuk menjumpai mereka”. (hadist riwayat Thabrani)

7. Melahirkan generasi penerus

  “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada orangtuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberikan kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS. Ahqaf/46 : 15)

  Dalam surat Al Ahqaf ayat 19 juga terdapat doa yang hampir sama, hanya saja dalam surat Ahqaf diatas ada kata-kata “Wa aslih fi dzurriyati” yang bermakna :”Dan perbaikilah anak keturunanku”.

  Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa anak mempunyai kecenderungan mencontoh bagaimana orangtuanya mendidik dirinya diwaktu kecil dahulu, oleh sebab itu setiap orang tua harus dapat menjadi memberikan pendidikan yang baik dan itu dapat menjadi amal jariyah dalam mendidik. Sebaliknya jika orang tua salah dalam mendidik, maka itu juga dapat dicontoh oleh anak-anaknya sehingga akan menjadi dosa yang berkelanjutan.

  Demikianlah konsep Al Quran dalam masalah anak, semoga anak-anak kita dapat menjadi aset kebahagiaan dan kekayaan dunia dan akhirat.

Fa’tabiru Ya Ulil albab.

 

Oleh Ustad : M. Arifin Ismail MA.M.Phil

diedit oleh : Agus Wahyudi