Selasa, 08 September 2009

Antara Iman dan Malu

 

“Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman” (HR.Bukhari Muslim)

Agama Islam adalah agama yang mengatur seluruh sistem kehidupan, baik itu berkaitan dengan keyakinan, penyembahan dan ibadah ritual, dan adab serta akhlak kemanusiaan. Malahan adab dan akhlak merupakan inti daripada keimanan dan sikap keagamaan. Dalam Al Quran surah Al-Ahzab menghubungkan keimanan seseorang dengan adab malu sebagaimana ddinyatakan dalam ayat tersebut yang artinya :

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan... Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”.

Dalam ayat ini iman dihubungkan dengan adab memasuki rumah dengan meminta izin, dan juga dengan menjaga perasaan Rasulullah dalam menghadapi tamu yang datang ke rumah beliau. Rasulullah sebagai manusia sempurna memiliki perasaan malu yang sangat hebat, sehingga beliau tidak dapat menegur tamu yang terus mengobrol sehingga Allah memberikan teguran dengan turunnya ayat diatas.

Rasulullah sangat mementingkan agar umatnya memiliki rasa malu dalam berbuat yang tidak baik, sehingga menurut Ibnu Umar r.a. bahwa suatu hari Rasulullah berjalan dengan seorang anshar dan memberikan nasehat kepada saudaranya tentang malu. Nabi bersabda :

”Sesungguhnya malu itu sebagian daripada iman” (hadist riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).

Sikap malu kepada sesuatu yang tidak baik merupakan kunci kebaikan dalam masyarakat sehingga menurut hadist dari Umar ibn Husain r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Malu itu tidak akan mendatangkan kecuali dengan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim), dan dalam hadist yang diriwayatkan oleh muslim disebutkan bahwa ”malu itu adalah kebaikan seluruhnya”.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Iman itu lebih dari 70 atau lebih daripada 60 bagian, maka bagian yang paling afdhal adalah ucapan Tiada Tuhan Selain Allah, dan bagian yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang membahayakan dari jalan, dan malu itu bagian daripada iman”. (HR Bukhari Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, Nasai, Ibnu Majah).

Dari hadist ini dilihat bahwa jika seseorang tidak ada sikap peduli dengan sesuatu yang membahayakan jalan dihadapannya, sama dengan orang yang tidak memiliki rasa keprihatinan dan rasa malu, padahal malu itu bagian dari iman.

Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa malu itu dapat membawa orang kepada surga, dan siapa yang tidak malu akan memiliki sikap yang keras dan kasar sebagaimana dinyatakan dalam hadist dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Malu itu sebagian daripada iman dan iman itu di dalam surga, dan kasar itu adalah kekeringan dan kekeringan itu di dalam neraka.” (riwayat Ahmad).

Hadist yang lain dari Abi Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Malu dan sedikit berbicara itu adalah bagian daripada iman, dan berkata kasar dan berkata banyak adalah bagian dari sifat munafik.” (HR. Tarmidzi).

Thabrani juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : Malu dan berkata sedikit itu dari iman dan keduanya itu mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan diri dari neraka sedangkan kekasaran dan keganasan itu dari syetan dan keduanya itu mendekatkan diri dari neraka dan menjauhkan diri dari surga.

Dari Qurah bun Ilyas r.a. berkata bahwa kami bersama Nabi, ada yang mengingatkan tentang rasa malu, mereka berkata : Ya Rasulullah maul itu daripada agama maka Rasulullah SAW bersabda : Bahkan malu itu adalah agama seluruhnya, kemudian Rasulullah melanjutkan : Sesungguhnya malu, wara, sedikit bicara, adalah daripada iman dan itu semua akan menambahkan kehidupan akhirat dan mengurangkan kehidupan dunia dan yang ditambahkan kepada akhirat itu lebih banyak daripada yang mengurangkan di dunia. Dan pelit, lemah, dan kasar bagian dari sifat munafik dan itu menambah dunia dan mengurangkan akhirat dan apa yang dikurangkan di dunia lebih daripada apa yang ditambahkan di akhirat. (hadist riwayat Thabrani).

Rasulullah juga menyatakan bahwa sifat malu merupakan sifat yang wajib dimiliki oleh seseorang yang saleh, sebagaimana dinyatakan hadist dari Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Wahai Aisyah jika seandainya malu itu merupakan seorang lelaki maka dia itu lelaki yang saleh, dan jika kasar itu seorang lelaki, maka dia itu lelaki yang buruk akhlak.” (riwayat Thabrani).

Sikap malu dari perbuatan buruk dan keji juga merupakan inti dari ajaran agama Islam, dan akhlak utama dalam Islam sebagaimana dinyatakan oleh hadist dai Zaid bin Talhah bin Rukanah yang menceritakan Rasulullah bersabda :

”Sesungguhnya setiap agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah Malu”. (HR. Malik dan Ibnu Majah).

Tidak mempunyai sikap malu akan membuat sesorang bersikap sesuka hati, seenaknya, dengan cara terang-terangan dan kasar, sebagaimana dinyatakan dalam hadist dari Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah bersabda :

”Tidak adalah kekasaran pada sesuatu melainkan akan merusaknya, dan tidak ada malu pada sesuatu melainkan akan menghiasinya”. (HR Ibnu Majah dan Tarmidzi)

Begitu eratnya malu dengan keimanan seseorang sehingga jika seseorang itu tidak memiliki malu maka hilanglah imannya sebagaimana dalam hadist dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda : Malu dan iman itu adalah saling berkaitan, apabila satu diangkat maka akan terangkatlah yang lain. (riwayat hakim)

Malu dalam Islam bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dinyatakan dalam hadist Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Malulah kamu dengan Allah dengan seber-benarnya malu”.

Sahabat bertanya : wahai Nabi Allah, Alhamdulillah kami telah bersikap malu.

Rasul Menjawab : Bukan demikian, tetapi malu dengan Allah itu adalah engkau menjaga kepalamu dan apa yang ada di dalam kepala, dan menjaga perutmu dan apa yang ada di dalam hawa nafsu, dan engkau mengingat mati dan musibah yang menimpamu, maka siapa yang melakukan hal demikian, maka dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. (riwayat Tirmidzi).

Oleh sebab itu jika rasa malu sudah tidak dimiliki seseorang, berarti Allah telah mencabut keimanan dalam hatinya, sebagaimana dinyatakan oleh hadist dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila hendak menghancurkan seorang hamba maka Dia mencabut rasa malu, dan apabila malu telah dicabut, maka dia akan dibenci orang, dan apabila dia dibenci maka akan dicabut darinya sifat amanah, dan apabila amanah telah dicabut, maka engkau akan berkhianat, dan apabila dicabut rasa kasih sayang, maka engkau akan melihatnya menjadi orang yang terkutuk, dan apabila engkau telah melihatnya terkutuk, maka lepaslah tali Islam dari pegangannya.” (Hadist riwayat Ibnu Majah)

Semoga tulisan diatas dapat melihat sejauh mana rasa malu masih ada dalam masyarakat, karena selama ini banyak pemimpin yang tidak malu membohongi rakyatnya, banyak orang yang tidak malu bermaksiat, banyak pegawai yang tidak malu korupsi dan lain sebagainya, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada rasa malu lagi maka penyebab segala krisis yang terjadi selama ini.

Fa’tabiru Ya Ulil Albab.

Sumber : M. Arifin Ismail MA.M.Phil

facebook Tags: Share on Facebook

Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar