Jumat, 10 Juli 2009

Menjaga dari Syubhat

         

         Seorang imam shalat di suatu kampung ke rumah Ibnu Nasawi, hakim dalam kekhalifahan Islam. Pada waktu itu, di hadapan Ibnu Nasawi ada sepiring kurma merah yang sudah mengering. “makanlah kurma ini”, kata Ibnu Nasawi kepada tamunya. Namun, nampaknya imam tadi enggan untuk memakan suguhan tersebut, sehingga Ibnu Nasawi berkata, “Sikapmu kepadaku ini menunjukkan seakan-akan bahwa kamu ingin mengatakan dari mana Ibnu Nasawi mempunyai sesuatu yang halal…? Tapi tak apa, sebab aku sama sekali tidak pernah makan yang lebih halal daripada ini. Dengan sedikit bercanda, tamu tadi bertanya :”Dari mana kamu mempunyai sesuatu yang tidak syubhat?” Ibnu Nasawi bertanya : “Apakah jika aku memberitahukannya kamu akan makan kurma ini?” Ya, tentu saja, jawab lelaki tersebut. Ibnu Nasawi bercerita : Beberapa malam yang lalu tepatnya pada saat seperti ini, tiba-tiba pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Pembantuku bertanya, “Siapa ya?” Orang yang mengetuk menjawab : “Aku adalah seorang wanita yang ingin bertamu ke rumahmu wahai hakim”. Aku mengijinkannya masuk, dan setelah pintu terbuka, si wanita langsung duduk bersimpuh di lantai dan berkata :”Tolonglah aku”.. Hakim Ibnu Nasawi bertanya :”Apa keperluanmu hingga datang ketempatku malam seperti ini?” Wanita itu menjawab : “Saya mempunyai seorang suami yang telah memberikan dua orang anak perempuan, yang berumur 12 tahun dan 14 tahun. Kemudian, suamiku menikah lagi dan setelah mempunyai isteri muda dia tidak lagi pernah mengunjungi kami, padahal anak-anak ingin sekali bertemu dengannya. Saya gelisah memikirkan keadaan mereka. Saya hanya menginginkan agar suamiku itu mau membagi satu malam untuk saya dan satu malam untuk isteri mudanya”. “Apa pekerjaannya?”. tanya Ibnu Nasawi memotong cerita. “Dia itu seorang penjual roti” jawabnya. Dimana tokonya? “Dikota Kirk, dan di pasar itu dia dikenal dengan nama si fulan bin fulan”. Ibnu Nasawi bertanya tentang wanita itu “Kamu ini anak siapa?”.Wanita itu berkata :”saya anak si fulan”. Ibnnu Nasawi bertanya lagi :”Siapa nama anak perempuanmu?” Wanita itu menjawab :”Fulanah dan Fulanah”. Setelah itu Ibnu Nasawi berkata :”Insya Allah aku akan bisa mengembalikan suamimu itu kepadamu”.

Untuk mengucapkan terima kasih, si wanita itu berkata :”Kain ini adalah hasil tenunanku dan anak-anakku, silahkan tuan mengenakannya”. Hakim Ibnu Nasawi berkata :”Ambil saja kainmu itu dan bawalah pulang”. Setelah wanita itu pergi, Ibnu Nasawi berkata kepada dua orang utusannya :”Bawa laki-laki itu kemari dan jangan sedikitpun kamu melukainya”. Tak lama kemudian kedua orang suruhan tadi telah membawa suami wanita itu ke hadapanku dalam kondisi kebingungan. Maka aku berkata kepadanya :”Kamu tidak usah khawatir, aku memanggilmu hanya untuk memberimu bahan roti untuk bekal bepergian”. Begitu mendengarkan perkataanku, hatinya menjadi tenang dan berkata :”Aku tidak memerlukan bahan makanan itu”. Ibnu Nasawi berkata :”Baiklah, itu tidak menjadi masalah bagiku, yang perlu aku ingatkan bahwa engkau ini adalah saudaraku. Aku ingin bertanya sesuatu tentang keadaan isterimu, si fulanah. Karena dia itu keponakanku. Selain itu bagaimana pula dengan anak-anakny, si fulanah dan si fulanah?”. Lelaki itu menjawab :”Mereka baik-baik saja”. Hakim Ibnu Nasawi berkata :”Aku tidak perlu memberimu nasehat tentang isterimu, tapi ingatlah sebaiknya jangan kamu sampai membuat gelisah isteri dan anakmu itu”. Setelah itu dia segera minta izin pulang dan berkata :”Pergilah ke tokomu”. Tak lama kemudian, pada malam harinya, wanita itu datang kerumahku, dengan membawa piring berisi kurma ini dan saya mohon agar engkau tidak menolaknya. Ini juga kain tenunan yang kubuat dan anak-anakku, dan saya harap tuan tidak menolak pemberian ini”.

Setelah bercerita demikian, Ibnu Nasawi bertanya kepada imam yang datang ke rumahnya tadi :”Nah, apakah makanan kurma ini halal…?” Imam tadi menjawab :”Demi Allah, ini makanan yang halal..” Ibnu Nasawi berkata :”Kalau begitu makanlah kurma ini”. Akhirnya lelaki itu menyantap kurma yang dihidangkan oleh si tuan rumah tersebut.

          Dari kisah di atas dapat dilihat bagaimana seorang imam sangat berhati-hati dalam makanan, demikian juga seorang hakim seperti Ibnu Nasawi sangat berhati-hati dalam menerima pemberian dan hadiah. Mereka berdua khawatir jika harta kekayaan, makanan yang dimakan itu sesuatu yang tidak halal dan syubhat.

          Ibnu nasawi menolak pemberian pertama, sebab jika dia menerima pemberian itu sedangkan perkara yang diurusnya belum selesai, maka dikhawatirkan jika hatinya akan tersangkut dengan pemberian sebelum dia menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Sedangkan jika dia menerima pemberian kurma dan kain maka pemberian itu setelah perkara selesai, maka pemberian itu tidak ada sangkut pautnya dengan menangani perkara tersebut, hanya merupakan ungkapan terima kasih yang murni, dan sedekah yang ikhlas. Oleh sebab itu Ibnu Nasawi menerima pemberian itu.

          Dalam sebuah hadist disebutkan : "

“Sesuatu yang halal itu sangatlah jelas, dan sesuatu yang haram juga sangatlah jelas. Diantara keduanya itu ada hal-hal yang syubhat (tidak jelas antara halal dan haram), yang tidak diketahui banyak orang. Siapa yang terjaga dari yang syubhat, niscaya ia telah terlepas (dapat menjaga kehormatan dan agamanya. Dan siapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat, niscaya ia telah terperosok ke dalam yang haram, seperti pengembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekeliling hutan larangan, maka besar kemungkinan hewan akan masuk ke dalam kawasan hutan yang dilarang tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

         Seorang muslim, sepatutnya selalu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah harta yang kumiliki ini halal atau haram, apakah makanan ini halal atau haram, sehingga dia tidak terjatuh kedalam syubhat, apalagi kalau jatuh ke dalam yang haram, sebab Rasulullah  SAW bersabda :

“Siapa yang tidak menghiraukan darimana ia memperoleh harta kekayaan itu, niscaya Allah tidak menghiraukan darimana ia akan dimasukkan ke dalam api neraka.”

         Menjaga diri agar terhindar dari sesuatu yang haram itu merupakan ibadah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist :

“Ibadah itu 10 bagian. Sembilan bagian daripadanya pada mencari yang halal.”

Oleh sebab itu Ibnu Mubarak mengatakan : “Mengembalikan sedirham dari harta syubhat adalah lebih aku suka daripada aku bersedekah dengan seratus ribu dirham, seratus ribu dirham, seratus ribu dirham, sehingga sampai kepada enam ratus ribu dirham.”

        Ahmad bin Hanbal mendengar Yahya bin Muin berkata : “Sesungguhnya aku tidak akan meminta-minta pada seseorang. dan kalau diberikan kepadaku sesuatu oleh syetan, niscaya aku akan makan.”

Setelah itu Yahya bin Muin Berkata : “Aku hanya bergurau dan bermain-main.” Ahmad bin Hanbal berkata : “Engkau bermain-main dengan agama? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa makan itu sebagian dari agama, malahan Allah mendahulukan masalah makanan itu daripada amal ibadah?

Kemudian dia membaca ayat :”Makanlah yang baik-baik dan beramal yang shaleh.” (QS.Al Mukminun : 51)

       Menurut Ibnu Hanbal dalam ayat diatas, Allah lebih mendahulukan “makanlah makanan yang baik” baru Allah perintahkan “Beramal yang shaleh”, berarti berhati-hati terhadap makanan yang baik itu diutamakan Allah daripada beramal yang shaleh. Oleh sebab itu sebuah hadist menyebutkan :

“Siapa yang membeli kain dengan harga sepuluh dirham, dan dalam harga tersebut ada satu dirham yang haram, niscaya Allah tidak akan menerima shalatnya, selama kain itu masih ada padanya”. (hadist riwayat Ahmad).

Dalam hal ini kita berharap bahwa bisa berhati-hati dengan harta yang kita dapat dan jangan sampai terapat unsur yang syubhat dalam harta yang kita peroleh. Dan dalam pemilu presiden saat ini kita juga berharap mempunyai pemimpin yang bisa menjaga dari hal-hal yang syubhat… Amin ya robal alamin.

 

Fa’tabiru ya Ulil Albab

 

Sumber : M. Arifin Ismail. MA.M.Phil

Diedit oleh : Agus Wahyudi