Minggu, 08 Februari 2009

Ujian Keimanan Umat Islam


Marilah kita merenungkan salah satu firman Allah dalam surat Al-‘Ankabut ayat 2 dan 3:

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah SWT mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” 

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman kita, adalah kita harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada kita, untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan kita dalam menyatakan iman, apakah iman kita itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman kita didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan seperti yang digambarkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam surat Al-Ankabut ayat 10:

“Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?

Bila kita sudah menyatakan iman dan kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu Surga sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala. Maka marilah kita bersiap-siap untuk menghadapi ujian yang akan diberikan Allah kepada kita, dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita, yang ingin masuk Surga tanpa melewati ujian yang berat.   Apakah kalian mengira akan masuk Surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan keseng-saraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-nya:

“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah 214).

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dituturkan kepada shahabat Khabbab Ibnul Arats Radhiallaahu anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Sungguh telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya, dan ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya, setidak-nya ada empat macam ujian yang telah dialami oleh para pendahulu kita:

Yang Pertama:

Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih
anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan: 

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. (Ash-Shaffat 106).

Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim Shallallaahu alaihi wa salam dan
puteranya adalah pelajaran yang sangat berat itupun dijalankannya. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah
Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya.

Yang Kedua:

Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf Alaihissalam yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya. Sikap Nabi Yusuf Alaihissalam ini perlu kita ikuti, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Kita dituntut untuk selalu bisa menjaga diri kita, keluarga kita dan orang-orang sekeliling kita agar tidak terjerembab dalam kubangan kemaksiatan, serta menanamkan sifat mulia Nabi Yusuf Alaihi al Salam dalam diri kita dan orang-orang disekeliling kita.

Yang Ketiga:

Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub Alaihissalam yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”.
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub Alaihissalam untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. Begitulah ujian Allah kepada NabiNya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub Alaihissalam membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayyub Alaihissalam ini.

Yang Keempat:

Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh Rasulullah di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam beserta Bani Abdul Muththolib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam untuk dibunuh. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para shahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan Islam. Sebagai orang-orang yang telah menyatakan iman, kita harus mempersiapkan diri untuk menerima ujian dari Allah, serta kita harus yaqin bahwa ujian dari Allah itu adalah satu tanda kecintaan Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam, yang diriwayatkan Imam al Tirmidzi :
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai satu kaum Ia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha, baginyalah keridhaan Allah, dan barangsiapa marah, baginyalah kemarahan Allah”.

Mudah-mudahan kita semua diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah
dalam menghadapi ujian yang akan diberikan oleh Nya kepada kita.  Amin


Sumber : Ustadz Ma'luuful Anam, MA


Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar