Kamis, 18 Juni 2009

Apa Yang Kita Kejar Dalam Hidup

 

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoiNya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam SyurgaKu.” (Al-Fajr : 27-30)     

         Dalam hidup ini pasti ada tujuan yang hendak kita capai. Karena tujuan itulah orang kemudian mengejarnya dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang ada pada dirinya. Lalu, apa yang hendak kita tuju dalam hidup ini…? Apa yang mau kita kejar dalam hidup ini…? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Dari pandangan manusia pada umumnya hingga ajaran agama-agama serta pandangan filsafat. Namun, tentu saja yang paling tepat dan memncapai kebenaran yang essensial hanyalah satu yaitu petunjuk dan bimbingan Allah SWT dalam Al-Quran.

         Pada umumnya, manusia memandang bahwa tujuan dan target yang hendak dicapai dalam hidup ini adalah kebahagiaan (al-sa’adah). karena itu, berlomba-lombalah manusia mengejarnya dalam hidupnya. Ada yang menganggap bahwa terakumulasinya kekayaan material adalah kebahagiaan. Tetapi, dalam kenyataannya banyak orang yang berharta justru merasakan tidak bahagia.

         Ada orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu dicapai bila memiliki kesempurnaan jasmani. Realitasnya banyak orang yang berbadan sehat justru mengeluh karena tidak bahagia. Ada juga yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu dicapai bila memiliki kewibawaan yang tinggi karena jabatan dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Banyak orang “besar” justru merasa tidak bahagia.

         Agama-agama di dunia inipun memberikan resep tentang bagaimana hidup bahagia itu. Agama Hindu mengatakan bahwa bahagia it dicapai bila orang bisa : pertama, menguasai diri dari pengaruh hawa nafsu, kedua hidup sederhana, ketiga bersatu dengan Brahma. Agama Budha lain lagi, dikatakan bahwa bahagia bisa dicapai bila kita bisa : samadhi, mengasingkan diri, tenang dari dalam/biologis, tenang dari rasa, dan tenang abadi di Nirwana.

         Kalangan ahli filsafat berpendapat lain lagi. Mereka seperti Phitagoras, Socrates, dan Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan dicapai bila menusia memiliki hikmah, keberanian, kehormatan dan keadilan. Lebih jauh dikatakan oleh Aristoteles bahwa kebahagiaan adalah “aedomonie” yang dituju oleh semua manusia.

         Kalangan ahli Filsafat materialis mengatakan bahwa kebahagiaan itu dicapai melalui segala yang berbentuk material, seperti kepuasan jasmani, badan sehat, dan hidup serba cukup. Leo Tolstoy (1828-1910) berpendapat bahwa kebahagiaan itu berupa faham-faham dalam diri manusia namun kebahagiaan yang sejati bila dapat mencintai sesama.

         Prof.Mc.Dogall, seorang psikolog Barat, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dicapai melalui tiga tingakatan yaitu: kelezatan fisik (pleasure), kegembiraan psikis (joy), baru kebahagiaan (happiness).

         Dari semua resep kebahagiaan itu ternyata Al-Quran memuat makna kebahagiaan dalam lebih dari sepuluh ayat. Yang bila diteliti secara cermat dan mendalam akan dapat disimpulkan bahwa dreskripsi Al-Quran itu memuat semua resep kebahagiaan yang ada di tengah masyarakat manusia. Misal dalam surat Al-Zukhruf : 71 Al-Quran mengindikasikan kebahagiaan dalam kelezatan (delicious). Dalam surat Hud : 3, kebahagiaan itu disebutkan sebagai mata’ atau perhiasan hidup berupa kesenangan-kesenangan lahiriah. Dalam surat Al-Nahl : 53, kebahagiaan itu diidentikkan dengan kenikmatan baik lahir maupun batin (Lukman : 30).  

         Dalam surat Al-Mu’minun : 1, kebahagiaan itu diperoleh bila orang beriman dengan segala menifestasinya seperti shalat yang khusyu’, memelihara kehormatan diri, memelihara amanat dan janji, serta selalu menjaga shalat dengan segala hak-haknya. Dalam surat Al-Fath : 36, disebutkan bahwa kebahagiaan itu bila orang mendapatkan “sakinah” atau ketenangan batin. 

         Dalam surat Al-Nahl : 112, kebahagiaan itu diungkapkan Allah SWT melalui adanya rasa aman. Sedangkan dalam ayat lain kebahagiaan itu adalah al-Salam atau keselamatan dan kesejahteraan. Dalam surat Ali Imran : 17, kebahagiaan itu bila orang merasa gembira dan girang (farhan). Dalam surat yang sama pada ayat 171, kebahagiaan itu bila orang merasakan kegembiraan (bisyarah). Sementara itu, dalam surat Hud : 108, kebahagiaan itu disamakan dengan “al-Salam” berupa kehidupan yang kekal di akhirat kelak.

         Ada yang menarik, dan relevan dengan trend dewasa ini, bahwa kebahagiaan itu justru diperoleh orang setelah orang melakukan kerja keras (amal saleh) yang didasarkan atas iman kepada Allah. dalam surat Al-Nahl : 97, disebutkan bahwa siapa yang beramal saleh baik laki-laki maupun permepuan padahal ia beriman maka pastilah Kami (Allah SWT) akan menghidupkannya dengan “hayatan tayyibah” kehidupan yang baik. Jadi, menurut ayat ini kebahagiaan itu baru dicapai bila orang telah bekerja keras untuk mencapainya yaitu dengna bermodalkan iman dan beramal yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

         Kehidupan yang baik itu hanya akan dapat diraih dengan baik bila melakukan ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya. Juga merasa takut untuk berbuat yang dapat menimbulkan ketidak ridhoan Allah SWT.

         Bila semua resep kebahagiaan itu kita sederhanakan maka kebahagiaan itu dapat diformulasikan sebagai kecenderungan hidup untuk bisa hidup dalam kelezatan dan ketenangan di duia dan di akhirat. islam memang sesuai dengan fitrah manusia. Semua kecenderungan itu sejalan dengan fitrah manusia. Tidak bertentangan dengan naluri manusia.

         Kalangan sufisme mengatakan bahwa kebahagiaan berdasarkan surat Al-Fajr : 27-28, adalah diperolehnya perjumpaan dengan Tuhan (Allah SWT) atau “liqo rabbi”. Bertemu Allah SWT adalah kebahagiaan yang sejati. Karena disadari bahwa setiap manusia berasal dari Allah SWT, karenanya perjumpaan kembali denganNya adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Jalannya adalah dengan mendekatkan diri (taqarrub ilallahi).

         Mempertahankan iman dan meningkatkan amal saleh. Selain itu, negara berdasarkan UUD 1945 berkewajiban untuk membahagiakan warganya dengan cara menjadikan mereka hidup dalam kesejahteraan. Seperti negara-negara lain di dunia ini, tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk maksud menjadikan negara sebagai “welfare state”, negara kesejahteraan. para ahli Filsafat Islam seperti Al-Farabi atau ahli “fiqh siyasah” seperti Al-Mawardi juga berpendapat demikian.

Fa’tabiru ya Ulil Albab

Sumber : H. Soetrisno Hadi

Diedit oleh : Agus Wahyudi


Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar