Jumat, 12 Juni 2009

Tauhid Persatuan

 

        Puji Syukur kehadirat Allah swt. Karena dengan kasihNya telah diturunkan agama, menciptakan Alam semesta yang kaya, akal dan fikiran, panca indera dan hati nurani, itu semua diciptakanNya sebagai pembeda manusia dengan ciptaan lainnya, sebagai khalifah di atas muka bumi ini. Sebagai rasa syukur, merupakan suatu keniscayaan untuk menggunakan ciptaanNya secara komprehensif dan proporsional, karena akal fikiran, hati nurani dan agama tidak bisa dilihat dengan cara pandang dikotomis, mereka merupakan kesatuan holistik bukan partial.
         Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah saw. yang telah membimbing umatnya untuk memahami dan menghayati apa arti agama, dan menggunakan semesta-akal-nurani dengan bijaksana. Menyatukan umat dari segala bentuk pembeda primordial kesukuan, warna kulit dan berbagai bentuk turunan ’fanatisme’ lainnya. Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikan hal-hal primordial sebagai sebab atau ikatan jalinan yang menumbuhkan persatuan antar manusia. Allah memang menyebutkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, namun Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menjadikan faktor suku atau bangsa sebagai faktor perekat. Eksistensi suku dan bangsa yang beraneka ragam di tengah pergaulan antar manusia merupakan sebuah fakta yang tak terelakkan, tetapi bukan berarti persatuan berdasarkan kesamaan suku atau bangsa merupakan persatuan yang dianjurkan apalagi diperintahkan oleh Allah maupun RasulNya. Malah sebaliknya kita temukan sebuah hadits yang mencela persatuan sekedar berdasarkan fanatisme golongan, baik itu golongan berdasarkan kesamaan suku atau warna kulit.

“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme golongan).” (HR Abu Dawud)

          Diutusnya rasulullah saw. untuk semua umat manusia merupakan cerminan dari persatuan tanpa landasan fanatisme primordial, ini juga yang membedakan Islam dan lainnya yang diturunkan untuk suatu golongan tertentu dan pada masa tertentu pula. Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam adalah rahmat bagi semesta alam, demikianlah slogan yang senantiasa menghiasai atmosfer keagamaan kita, entah dari ormas, orpol maupun gerakan keagamaan lainnya semuanya mengakui slogan yang indah itu. Namun apabila kita lihat fenomena keberagamaan saat ini antara ajaran dan tindakan bagaikan jauh api dari panggang. Fenomena
inilah yang kemudian membuat para sosiolog beramai-ramai menyematkan berbagai atribut pejoratif terhadap Islam dari gelar ekstrimis, fundamentalis hingga yang paling vulgar, teroris. Islam, sebuah ajaran yang maha sempurna yang pernah turun diatas muka bumi, yang berarti bahwa Islam mempunyai nilai universal, nilai yang tidak akan pernah lekang ditelan zaman. Hal inilah yang kemudian memunculkan ragam interpretasi dalam umat ketika memaknainya. Ada yang dengan ‘lugu’ berkeyakinan penuh bahwa al-qur’an sebagai sumber primer ajaran Islam mengandung segala-galanya dalam artian yang sangat literal, sehingga apapun yang ada dan tidak terekam dalam al-qur’an secara literal dengan mudahnya dianggap bid’ah, sesat dan tidak
islami. Di lain pihak memaknai universal dengan landasan kebebasan dan pemahaman yang liberal, sehingga melabrak aturan-aturan fundamental yang telah baku dalam al-qur’an dengan dalih universalisme Islam, pesan-pesan pluralisme dan liberalisme sudah tertanam rapi dalam barisan-barisan ayat al-qur’an, demikian menurut mereka.

          Kedua bentuk ektrimisme diatas tidak menemukan legalitasnya dalam Islam, karena Islam bukan hanya konsep ajaran yang kaku dan rigid yang harus diartikan dengan pemahaman harfiah belaka, namun ia juga tidak bisa dimaknai dengan tafsiran metaforis-liberal tanpa aturan, ia harus diletakkan secara proporsional. Disinilah nilai urgensitas ilmu tafsir dalam rangka  memahami ajaran Islam dengan komprehensif.

          Universalisme Islam, mempunyai konsekwensi bahwa Islam telah mengatur segala hal kehidupan umat manusia, baik vertikal (ubudiyah) maupun horizontal (mu’amalah) yang bila dibawa kepada makna yang lebih luas, segala aspek kehidupan manusia telah tertata rapi dalam Islam, baik itu ritual, sosial dan bernegara (politik). Kedua hal penting dalam kehidupan manusia tersebut haruslah ditopang dengan tiang yang kokoh, sehingga tidak dengan gegabah mencomot dalil-dalil agama yang sebenarnya hanya untuk memperkuat ideologi partial fanatisme kelompok. Sehingga agama dijadikan tunggangan sebagai ‘pelicin’ nafsu duniawi.

           Dalam hubungan vertikal, Islam sudah menetapkan kaidah-kaidah baku sehingga segala macam bentuk ritual yang tidak sesuai dengan pedoman harus dihindarkan, dalam era globalisasi yang terbalut erat dengan faham materialisme-hedonisme, manusia semakin jauh dari nilai spiritual, sehingga ada semacam kehausan yang teramat dalam terhadap aspek spiritual, hal ini mendorong berjamurnya berbagai gerakan olah spiritual guna menemukan ketenangan. Disini harus diingat, Islam sudah datang dengan tata cara yang sempurna dalam ritual, sehingga tidak perlu lagi mengais-ngais praktek ritual yang lain dengan dalih ketenangan. Dan Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek ritual belaka, ia juga sangat peduli dengan ranah duniawi, keduanya harus berjalan seimbang dalam diri pribadi seorang muslim. Demikian juga dalam ranah horizontal (sosial), fenomena hajatan demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia marilah kita gunakan untuk mendewasakan diri dalam bermu’amalah, Islam mengajarkan bahwa dalam segala bentuk kegiatan (baik vertikal maupun horizontal) harus berorietasi ‘mencari ridho Allah’ namun sayang hal tersebut dalam kenyataan dibalik oleh sebagian besar umat Islam, dalam beribadah, sudah banyak orientasi-orientasi selain ridho Allah yang dicari, dalam berpolitik, agama juga dibawa-bawa untuk melanggengkan kekuasaan, agama telah disobek-sobek untuk menambal ‘lobang’ hasrat duniawi.

“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa (al Baqarah 41)”

           Dalam kesempatan kali ini kami tidak akan membahas kedua aspek tersebut secara detail, namun ingin menekankan aspek fundamental yang membangun landasan etos kedua aspek ritual dan mu’amalah diatas. Hal yang paling fundamental dalam membangun etos kerja islami adalah pemahaman tentang tuhan dengan memahami konsep tauhid yang benar. Konsep tauhid yang berlandaskan kalimat la ilaha illallah.

           Seringkali kita mendengar para penganjur keagamaan di mimbar-mimbar masjid maupun kajian keislaman, akan pentingnya lafadz lailahaillallah. Ada hadits nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya lafadz dzikir adalah lailahaillallah. Karena itu lafadz ini amatlah penting. Sehingga sebagian ulama terutama dikalangan Hanbali melarang lafaz mufrad (satu kata) seperti mengucapkan Allah, Huwa, Ilah. Mereka tidak setuju dengan ini karena kata tersebut sudah tercerabut dari konteksnya, berbeda dengan lafadz lailaha illallah yang memiliki konteks, negasi dan konfirmasi, peniadaan segala bentuk Tuhan dan penegasan terhadap keEsaan Allah.

           Ilustrasi yang baik dalam memahami hal ini adalah lambang negara kita, burung Garuda. Kenapa kita dengan rileks memajang gambar Garuda disetiap sudut ruang kantor dan rumah, padahal ia adalah kendaraan dewa Wisnu, apakah kita tidak takut musyrik? Sama sekali tidak, karena fungsi Garuda sebagai kendaraan dewa Wisnu telah kita ‘bunuh’ dengan konsep lailahaillallah. Demikian juga para mahasiswa ITB tidak bisa kita sebut musyrik karena lambang Ganesha mereka, Ganesha adalah dewa ilmu dalam mitologi Hindu. Apakah itu berarti para mahasiswa dan dosennya ngalap berkah dari sang Ganesha? Sama sekali tidak, mereka telah membunuhnya dengan lafadz lailahaillallah. Hal inilah dalam konteks sosiologis disebut sebagai sekularisasi, devaluasi atau kadang juga disebut dengan demitologisasi.

           Dalam garis searah diataslah, almarhum Buya Hamka, misalnya, pernah menyatakan patung halal, karena sudah tinggal seni, dulu mungkin patung disembah, tapi dengan datangnya Islam patung-patung tersebut telah dibunuh dengan lafadz lailahaillallah, sehingga tinggal nilai seninya saja. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa tauhid adalah pembebasan manusia dari unsur mitologis. Tauhid tidaklah cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pengertian yang benar tentang Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepadaNya dan juga kepada objek selain Dia. Dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, atheime bukanlah problem utama manusia. Problem utama manusia adalah politeisme ‘syirik’ yaitu kepercayaan yang sekaligus berpusat pada Allah tapi masih membuka peluang bagi adanya kepercayaan lain yang dianggap bersifat Ilahi, meskipun lebih rendah dari Allah. Dari sudut lain, ateisme itu juga merupakan politeisme dalam bentuk lain, karena meskipun dalam pengakuan menyebut ateis, tapi dalam tataran praksis mereka mengambil sesuatu yang lain sebagai Tuhan.

           Dari sinilah mengapa program utama al Qur’an adalah pembebasan manusia dari belenggu faham banyak Tuhan, dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang berlandaskan pada al nafyu wa al itsbat (negasi dan konfirmasi) yaitu tiada Tuhan selain Allah.

            Selanjutnya, kebebasan yang sudah kita peroleh harus diisi dengan kepercayaan yang benar, karena hidup tanpa kepercayaan sama sekali mustahil. Kebebasan tiada batas akan mengundang datangnya tirani. Karena itu, kebebasan benar-benar punya arti, bilamana ia diiringi ketundukan pada Tuhan. Dengan demikian proses pembebasan itu tidak lain adalah pemurnian kepercayaan kepada Allah swt. pertama dengan melepas segala kepercayaan palsu dan kedua pemusatan kepercayaan hanya pada yang benar. yang menurut Ibn Taymiyya disebut dengan tauhid uluhiyyah. Halangan utama untuk mendapatkan pembebasan adalah keangkuhan kita dan belenggu yang kita ciptakan sendiri, belenggu hawa nafsu, Allah berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?(al Jatsiah 23)”

          Hawa nafsu inilah yang kemudian menjadi sumber pandangan-pandangan subjektif, yang menjadikan kita biased, dan menjadi dasar fenomena orang yang menuhankan diri sendiri. Ia kemuadian memutlakkan pandangannya sendiri atau terkungkung oleh tirani vested interestednya, Allah telah memberikan contoh dalam al Qur’an :
”Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”

          Implikasi dari pembebasan ini adalah keterbukaan individu yang tanggap dan kritis dalam permasalahan kepalsuan dan kebenaran yang beredar dalam masyarakat. Efek pembebasan diatas akan mengalir kemudian dari yang sifatnya individual menuju sosial. Prinsip tauhid berkenaan dengan penolakan tehadap thaghut (yang melewati batas) sehingga konsekwensi logis darinya adalah pembebasan sosial yang bersifat egalitarian. Tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang bersifat demokratis berdasarkan musyawarah yang memungkinkan tiap anggota masyarakat untuk saling mengingatkan tentang apa yang benar, dan ketabahan dalam menjalani hidup.

           Dengan demikian, sebagai bangsa muslim yang mayoritas, dan bangsa muslim terbesar didunia, sudah semestinya kita berusaha memahami konsep tauhid dengan benar, dan kita jadikan landasan normatif dalam tiap langkap ritual vertikal dan horizontal, sehingga terciptanya bangsa yang adil makmur dan sejahtera bukanlah impian utopis belaka, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.

            Untuk itu tauhid yang benar juga harus diikuti dengan etos kerja yang benar, ia harus memiliki komitmen yang kuat (niat) begitu urgennya posisi komitmen dalam Islam sehingga rasulullah bersabda :
”Bahwa setiap kegiatan harus berlandaskan komitmen, dan tiap individu akan dihitung dengan ketulusan niatnya, tinggi rendah kerja diikuti oleh komitmen pelakunya”.

            Tentu saja komitmen ini dikalangan umat Islam sudah menjadi sesuatu yang taken for granted dinisbahkan kepada Allah, untuk mencari ridha Allah swt. Sehingga mengerjakan sesuatu demi Allah berimplikasi bahwa kita tidak boleh secara sembrono semrawut dan acak acakan dalam berbuat. Sebab hal tersebut akan membuat niat kita absurd, karena tanpa ketulusan (ikhlas). Karena itu kemudian dalam setiap pekerjaan dituntut sikap ihsan (optimal) . Inilah etos kerja yang perlu ditumbuhkan ditengah umat Islam, agar bangsa Indonesia bisa lebih baik dimasa yang akan datang. Amin…

Fa’tabiru Ya Ulil Albab

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com

Di edit oleh : Agus Wahyudi


Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar